1.2.10

KESEHATAN RAKYAT MISKIN

Koran SINDO (SEPUTAR INDONESIA) 13 Maret 2008

KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN

Dr Paulus Januar, drg, MSKepala Laboratorium Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama)


Program pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dalam bentuk Askeskin (Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin) mulai tahun 2008 diganti menjadi Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Pada Jamkesmas terjadi perubahan, kini dana langsung disalurkan dari kas negara kepada pemberi pelayanan kesehatan. Di samping itu disiapkan tim untuk melakukan verifikasi administratif, keuangan, dan medik.
Perubahan menjadi Jamkesmas dilakukan untuk mengatasi berbagai kekurangan Askeskin yang selama ini dijalankan PT Askes. Departemen Kesehatan menuntut peningkatan kinerja PT Askes yang dinilai belum baik, bahkan sempat terlontar rencana menghentikan kerja sama. Di lain pihak dari masyarakat miskin kerap muncul keluhan mengenai kualitas maupun hambatan dalam penggunaan Askeskin. Dengan demikian perubahan tersebut perlu ditelaah dalam kerangka berbagai problematika yang membelit pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin.

PEMBIAYAAN KESEHATAN
Pembiayaan program kesehatan bagi masyarakat miskin berasal dari anggaran pemerintah serta kompensasi pengurangan subsidi BBM. Pada perencanaan Askeskin tahun 2007, diperkirakan jumlah penduduk miskin 60 juta orang dengan kebutuhan dana Rp 3,6 triliun. Namun realisasinya, selama tahun 2007 tercatat 76,4 juta orang yang menggunakan fasilitas Askeskin, hingga membutuhkan dana Rp 4,6 triliun. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka untuk Jamkesmas di tahun 2008 disediakan anggaran Rp. 4,6 triliun.
Namun perubahan dari Askeskin menjadi Jamkesmas terutama menyangkut perubahan mekanisme pembayaran dari pemerintah, dan sama sekali tidak menyangkut sistem sumber pembiayaan. Padahal, bukan hanya di negara berkembang seperti Indonesia saja, bahkan juga di negara maju, pembiayaan pelayanan kesehatan tetap merupakan permasalahan serius. Hal ini terlihat antara lain pada pencalonan presiden Amerika Serikat yang kini tengah berlangsung, ternyata masalah pembiayaan kesehatan menjadi perdebatan sengit di antara para kandidat.
Termasuk di negara maju, kalau pembiayaan kesehatan hanya berasal dari anggaran pemerintah, biasanya akan sangat membebani dan tidak mencukupi. Ditambah lagi kalau masih terjadi inefisiensi seperti tes diagnostik dan perawatan yang berlebihan, pemalsuan klaim asuransi, manipulasi obat, serta pengelembungan biaya.
Mengatasi masalah pembiyaaan dapat dilakukan dengan memperluas cakupan asuransi kesehatan bukan hanya untuk keluarga miskin saja, melainkan dibangun suatu sistem asuransi sosial kesehatan secara nasional yang mencakup seluruh lapisan masyarakat. Pembiayaan berasal dari premi yang ditetapkan berdasarkan tingkat penghasilan tiap-tiap orang, dan bagi masyarakat miskin preminya dibayar oleh pemerintah. Dengan sistem asuransi kesehatan secara nasional, maka seluruh potensi finansial masyarakat dapat dihimpun untuk secara kolektif mengatasi biaya kesehatan. Hal ini perlu dijalankan mengingat hingga saat ini sekitar 70% biaya kesehatan ditanggung sendiri (out of pocket) yang pada kenyataannya sangat membebani masyarakat, termasuk juga bagi kalangan mampu.

POLA PELAYANAN KESEHATAN
Selama ini mungkin terdapat pandangan, bila pembiayaan sudah dapat ditanggulangi, maka pelayanan kesehatan akan terlaksana dengan baik. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Selain tersedianya biaya, ternyata pelayanan kesehatan ditentukan juga oleh faktor lain seperti pola pelayanan, sistem pengelolaan keuangan, serta relasi tenaga kesehatan dengan masyarakat yang dilayani.
Pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin sering terjadi perlakukan yang tidak ramah, penelantaran, bahkan ungkapan-ungkapan yang merendahkan. Program pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin sebenarnya agar mereka mendapatkan martabatnya sebagai manusia, tapi ironisnya yang terjadi malah perendahan martabat. Belum lagi permasalahan antrian yang panjang, birokrasi yang rumit, hingga perilaku koruptif oknum petugas kesehatan. Sebagai akibatnya, mungkin masyarakat miskin cenderung enggan memanfaatkan fasilitas askeskin, atau pun baru menggunakannya bila penyakitnya sudah parah.
Sebenarnya untuk menjamin kualitas pelayanan kesehatan terdapat audit medis serta audit keuangan. Sedangkan sebagai landasan dalam menilai, ditetapkan standar pelayanan yang merupakan pedoman yang harus diikuti dalam melaksanakan praktik. Pada UU no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran ditetapkan, standar pelayanan diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan, sedang audit medis sebagai upaya evaluasi terhadap mutu pelayanan medis diatur oleh kalangan profesi. Sayangnya sampai sekarang belum terealisasi sepenuhnya. Dengan demikian sistem verifikasi yang hendak dikembangkan pada Jamkesmas akan sulit untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
Pola pelayanan Jamkesmas juga perlu memperhatikan aspek pencegahan penyakit. Selama ini masyarakat cenderung memandang tenaga kesehatan lebih berfungsi untuk merawat dan mengobati orang sakit (kuratif). Demikian pula bidang kesehatan lebih terpaku pada perawatan dan pengobatan hingga menyita sebagian besar biaya, tenaga, peralatan, maupun waktu. Pengalaman di banyak negara menunjukkan, kegiatan pencegahan penyakit dan peningkatan taraf kesehatan dalam jangka panjang akan mengurangi beban biaya serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.
Dalam mewujudkan kesehatan bagi seluruh rakyat agaknya diperlukan keberanian untuk mengambil inisiatif membangun sistem berdasarkan asuransi sosial kesehatan secara nasional yang mencakup juga aspek pencegahan penyakit serta peningkatan taraf kesehatan. Dengan demikian seluruh masyarakat dapat tercakup, termasuk kaum miskin yang memang sangat membutuhkan. Terlebih dari itu, berdasarkan pendekatan tersebut maka yang terwujud adalah sistem kesehatan, dan bukan hanya sistem mengobati orang sakit.
* * *

12.1.10

PENGUKURAN KINERJA PADA PRAKTIK KEDOKTERAN GIGI (PERFORMANCE MEASUREMENT IN DENTAL PRACTICE)

Proceeding of The 15th Scientific Meeting & Refresher Courses in Dentistry. Jakarta, October 14-17, 2009, p 387-390.

Abstract

PERFORMANCE MEASUREMENT IN DENTAL PRACTICE

Paulus Januar
Dental Public Health Department
Faculty of Dentistry – Prof Dr Moestopo University


Performance measurement in dental practice is a quantitative assessment of capacities, processes, or outcomes relevant to dental practice, including the effect on the public. Performance measurement is a component of performance management that comprises of performance standards, performance measurement, and quality improvement. Performance measurement provides a way to determine whether the practice goals are being achieved, and also helps to evaluate the dental practice’s overall strengths and weaknesses. This measurement is important because it may have a direct impact on the success of dental practice. Performance measurement is the building blocks of any measurable management system that consists of production, overhead, income, and profitability. Characteristics of ideal performance measurement are evidence-based, standards for satisfactory performance, attributable to the care rendered by the dentist, and the information obtained in a reliable way. The performance of dentists in their day-to-day clinical practices has become an area of intense public interest. Both patients and also dental care providers want more effective means of identifying excellent clinician and a variety of organizations are implementing for assessing the performance of individual clinicians.

Keywords: performance measurement, performance standards, quality improvement



PENGUKURAN KINERJA PRAKTIK KEDOKTERAN GIGI
Paulus Januar
Bagian Kesehatan Gigi Masyarakat
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama)

PENDAHULUAN
Praktik sebagai dokter gigi mungkin selama ini sudah berjalan dengan baik. Namun, kini dan terutama di masa mendatang, perlu lebih diperhatikan aspek penyelenggaraannya yang menyangkut hal-hal seperti tingkat produktivitas, pengelolaan keuangan, pengambilan keputusan, pengendalian kualitas, dan sebagainya yang merupakan penatalaksanaan kinerja (performance) dari suatu praktik kedokteran gigi.1,2 Kenyataan menunjukkan, keberhasilan praktik kedokteran gigi tidak hanya dari segi kegiatan klinis saja, namun juga menyangkut segi manajemen praktik.3
Kinerja merupakan gambaran yang dikerjakan dan dicapai pada pelaksanaan suatu fungsi, kegiatan, maupun prilaku. Kinerja didefinisikan sebagai hasil dari kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan atau target yang telah ditetapkan.4 Pada praktik kedokteran gigi, penatalaksanaan kinerja merupakan unsur penting untuk menunjang keberhasilannya. Dalam hal ini, pada praktik kedokteran gigi perlu dilakukan pengukuran kinerja untuk mengevaluasi apakah sudah berhasil mencapai tujuan maupun target yang ditetapkan. Berdasarkan kenyataan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk membahas mengenai konsep maupun pelaksanaan pengukuran kinerja pada praktik kedokteran gigi. Diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi upaya meningkatkan praktik kedokteran gigi yang dijalankan.

MANAJEMEN KINERJA
Pengukuran kinerja merupakan bagian integral dari manajemen kinerja. Manajemen kinerja pada praktik kedokteran gigi adalah kegiatan untuk secara aktif menggunakan data kinerja untuk penatalaksanaan dalam rangka memperkembangkan praktik kedokteran gigi yang dijalankan.5,6
Manajemen kinerja terdiri atas standar kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, dan pengembangan kualitas. Standar kinerja merupakan seperangkat standar objektif atau petunjuk untuk mengukur kinerja dalam rangka pengembangan sistem dan pengorganisasian untuk menetapkan tujuan, sasaran, dan peningkatan kualitas. Pada pengukuran kinerja dilakukan pengukuran kuantitatif dari kapasitas, proses, maupun hasil pencapaian berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Pelaporan kinerja mencakup pendokumentasian dan penyusunan laporan mengenai kinerja. Sedangkan pengembangan kualitas merupakan kegiatan atau proses untuk melakukan perubahan dalam rangka meningkatkan kualitas kebijakan, program, maupun infrastuktur berdasarkan standar, pengukuran, serta laporan kinerja.
Manajemen kinerja dapat digunakan untuk berbagai aspek pengelolaan praktik kedokteran gigi seperti pengembangan sumber daya manusia, sistem informasi, peningkatan kepuasan pasien, sistem finansial, pengembangan kapasitas, dan sebagainya.5,6 Dengan menggunakan manajemen kinerja akan menunjang proses pengambilan keputusan, meningkatkan akuntabilitas, sistem pelaporan yang baik, menumbuhkan minat publik, dan meningkatkan kinerja.6 Pada praktik kedokteran gigi, manajemen kinerja akan menunjang pemanfaatan kekuatan, serta mengatasi kelemahan yang terdapat. Selanjutnya dengan berdasarkan manajemen kinerja akan membantu penatalaksanaan operasional praktik kedokteran gigi seperti penambahan sumber daya manusia, memperluas ruang praktik, penetapan sistem pembayaran, dan sebagainya.1

INDIKATOR KINERJA
Pengukuran kinerja praktik kedokteran gigi merupakan suatu pengukuran kuantitatif mengenai kapasitas, proses, serta hasil yang berkaitan dengan praktik kedokteran gigi, termasuk efeknya terhadap masyarakat.4,6 Dalam pengukuran kinerja diperlukan indikator sebagai pembakuan hal-hal yang diukur. Penetapan indikator kinerja harus memenuhi persyaratan kesahihan (valid), keterandalan (reliable), definitif, berjangka waktu, dan dapat diperbandingkan (comparable).4
Indikator yang sahih merupakan indikator yang mampu mengukur hal yang hendak diukur, sedangkan keterandalan berarti indikator tersebut memiliki konsistensi dalam pengukuran. Indikator harus merupakan sesuatu yang didefinisikan dengan jelas dan tepat. Di samping itu indikator tersebut perlu dijabarkan jangka waktu penggunaannya misalnya setiap bulan, pada akhir tahun, dan sebagainya, serta hasil pengukuran indikator tersebut dapat dibandingkan dengan pengukuran yang dilakukan pada beberapa populasi atau institusi lainnya.4
Salah satu metode pengukuran kinerja yang paling banyak dijalankan adalah dengan menggunakan indikator pokok kinerja (key performance indicators / KPI). Indikator pokok kinerja merupakan serangkaian indikator utama yang bersifat terukur untuk menunjukkan suatu keadaan kinerja, dan bermanfaat memberikan informasi mengenai pencapaian sasaran kinerja, serta menunjang upaya peningkatannya di masa mendatang. Metode indikator pokok kinerja pada awalnya digunakan di kalangan bisnis dan kini banyak digunakan di berbagai sektor lain, termasuk di bidang pelayanan kesehatan.1,3
Pada praktik kedokteran gigi, penggunaan indikator pokok kinerja dapat digunakan untuk memilah data hingga dengan cepat dan tepat dapat diketahui hal-hal seperti jumlah pasien, tingkat produktivitas kerja per pasien, serta metode pembayaran. Berdasarkan data tersebut maka dapat dilakukan pengambilan keputusan seperti pengembangan staf, penambahan ruang praktik, pemindahan tempat praktik, dan sebagainya.3
Penetapan indikator pokok kinerja dilakukan berdasarkan proses pengorganisasian praktik, tujuan yang telah ditetapkan, serta upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan praktik yang selama ini dijalankan.1 Hal-hal yang umumnya menjadi indikator pokok kinerja pada praktik kedokteran gigi meliputi:1,3
• Produktivitas: seluruh pekerjaan yang dilakukan yang kemudian dapat diuraikan menjadi tingkat produktivitas per pasien.
• Pendapatan: jumlah pendapatan yang diperoleh serta lamanya jangka waktu pembayaran, termasuk juga data mengenai tingkat tagihan yang tidak terbayar.
• Biaya: pengeluaran yang dilakukan untuk kegiatan praktik serta efektivitasnya, maupun rasionya terhadap pendapatan.
• Kunjungan pasien: banyaknya pasien yang berkunjung, terutama pasien baru akan memberikan gambaran mengenai perkembangan praktik. Di samping itu perlu pula data mengenai ketaatan berobat pasien.
• Profitabilitas: keuntungan yang diperoleh berdasarkan pendapatan setelah dikurangi biaya yang dikeluarkan. Profitabilitas dinyatakan selain jumlahnya juga persentasenya. Dalam hal ini perlu diperhatikan, bahwa produktivitas serta tingkat pendapatan yang besar belum tentu akan meningkatkan profitabilitas.


PELAKSANAAN PENGUKURAN KINERJA
Pada praktik kedokteran gigi, mungkin pengukuran kinerja belum banyak dilakukan. Mengingat pentingnya pengukuran kinerja untuk pengembangan praktik kedokteran gigi, maka perlu mulai dilaksanakan. Namun seringkali tidak terlalu mudah untuk memulai sesuatu yang baru, termasuk untuk mulai melakukan pengukuran kinerja.
Bagi pelaksanaan pengukuran kinerja diperlukan komitmen dari pimpinan untuk menjalankan manajemen kinerja, serta kemudian mengajak dan melibatkan seluruh staf. Selanjutnya pimpinan bersama seluruh staf mengidentifikasi data apa saja yang diperlukan untuk pengukuran kinerja. Identifikasi tersebut perlu dijalankan berbasis bukti (evident based) mengenai hal-hal yang memang berperanan dalam pengembangan kinerja. Di samping itu perlu juga diperhatikan bahwa data yang diperlukan memang memungkinan untuk diperoleh (feasible) dan sedapat mungkin tidak berbiaya tinggi. Berdasarkan identifikasi tersebut lalu secara regular melakukan pengumpulan data mengenai kinerja. Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan analisis kinerja dan pembuatan laporan. Bagi pelaksanaan pengukuran kinerja mungkin diperlukan pengembangan staf agar mampu melakukan analisis data. 2,5
Pengukuran kinerja selain dilakukan secara internal dapat pula dijalankan oleh suatu lembaga konsultan manajemen. Pengukuran kinerja secara internal maupun eksternal masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Pada pengukuran data secara internal memerlukan alokasi waktu dan perhatian secara khusus di tengah kesibukan rutin melaksanakan praktik kedokteran gigi. Sedangkan bila dilakukan oleh suatu lembaga eksternal memang memiliki profesionalitas yang baik, namun seringkali kurang mampu mendalami dinamika yang sehari-hari terjadi pada kegiatan praktik kedokteran gigi, di samping biayanya yang lebih tinggi.5


PENGUKURAN KINERJA DAN PENGEMBANGAN KUALITAS
Hasil pengukuran kinerja bermanfaat untuk pengembangan kualitas. Dengan pengukuran kinerja dapat diketahui tingkat kinerja suatu praktik kedokteran gigi, yang kemudian dapat menjadi landasan untuk menyusun strategi pengembangan. Pengukuran kinerja dapat memberikan gambaran mengenai hal-hal yang telah dicapai dan prioritas yang perlu dikerjakan, serta meningkatkan kemampuan mengambil keputusan dan kerja sama tim.5,8
Umumnya kinerja yang buruk pada praktik kedokteran gigi disebabkan oleh berbagai faktor yang seringkali saling berinteraksi satu sama lain. Kinerja yang buruk pada praktik kedokteran gigi antara lain disebabkan karena rendahnya pengetahuan dan ketrampilan, tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kurangnya dukungan teman sejawat (peer support), kurangnya sikap profesional, kemitraan bisnis yang tidak berjalan baik, kurangnya sumberdaya, tim kerja yang buruk, dan kurang baiknya pengorganisasian praktik. Di samping itu kinerja buruk juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti perilaku buruk pasien, permasalahan dalam kehidupan keluarga, stress pada pekerjaan, maupun karena sang dokter gigi menderita sakit.7
Pada pengukuran kinerja dapat diketahui kondisi dari praktik kedokteran gigi. Peningkatan kualitas praktik kedokteran gigi berdasarkan pengukuran kinerja dilakukan dengan melakukan identifikasi kinerja yang masih kurang baik, termasuk identifikasi kecenderungan yang ada, kemudian mencari penyebab permasalahannya. Selanjutnya mengembangkan kebijakan dan program untuk mengatasi permasalahan serta meningkatkan kinerja, lalu mengajak seluruh staf untuk menjalankannya.5,8

KESIMPULAN
Pengukuran kinerja yang merupakan bagian dari manajemen kinerja dan merupakan unsur penting untuk menunjang keberhasilan praktik kedokteran gigi. Dengan pengukuran kinerja dapat diketahui kondisi praktik kedokteran gigi, dan bermanfaat untuk pengembangan kualitas praktik kedokteran gigi yang dijalankan.
Indikator pokok kinerja (key performance indicators) merupakan standar yang digunakan dalam melakukan pengukuran kinerja. Bagi pelaksanaan pengukuran kinerja membutuhkan komitmen dari pimpinan dan seluruh staf. Pengukuran kinerja dapat dilakukan secara internal atau secara eksternal oleh biro konsultan manajemen.


KEPUSTAKAAN

1. Levin, R.P. Key Performance Indicators and Practice Performance. Available at: http://www.dentalcompare.com/featuredarticle.asp?articleid=85 accessed July 12, 2007.

2. Bruce E. Landon, B.E., Normand, S.T., Blumenthal, D. Physician Clinical Performance Assessment: Prospects and Barriers JAMA. 2003; 290(9):1183-1189

3. Levin, R. The Business of Dentistry. J Am Dent Assoc May 2003 vol. 134: 644-645

4. Fort, A. Measuring Provider Performance: Challenges and Definitions Chapel Hill: PRIME II Better Practices Number 1 November 2002: 1-6

5. Performance Management National Excellence Collaborative. Using Performance Management to Improve the Public's Health. Seattle: Public Health Foundation, 2003: 11-21

6. Lichiello, P., and Turnock, B.J. Guidebook for Performance Measurement. Seattle: TurningPoint Collaborating for a New Century in Public Health, 2003: 8-14, 38 – 68

7. McKnight, H. Policy For Supporting Dental Practices Whose Performance Gives Cause For Concern. London: Bolton Primary Care Trust, 2008: 4-11.

8. Ahlstrom. J., Pynch, M.T. Applying Lean Thinking Principles to Health Care. Available at: http://www.wipfli.com/Wipfli/Impact_Magazine/Industry_Archive/Health_Care/General/200604HCA_Lean_Thinking_Principles.htm, accesed July 14, 2007

6.1.10

EVALUASI KESEHATAN 2009

MENELAAH 2009 DAN MENATAP 2010
DI BIDANG KESEHATAN


Paulus Januar
*



Meninggalkan tahun 2009 dan memasuki tahun 2010 patut dilakukan refleksi di bidang kesehatan yang merupakan salah satu unsur utama harkat kemanusiaan dan kesejahteraan rakyat. Sampai sejauh mana prestasi yang telah dicapai serta juga permasalahan dan tantangan ke depan di bidang kesehatan perlu menjadi perhatian bersama.
Di samping yang secara umum dalam bentuk kemajuan pelaksanaan berbagai program kesehatan maupun masih belum memuaskannya taraf kesehatan masyarakat, pada tahun 2009 secara nasional terdapat pula beberapa hal yang menonjol di bidang kesehatan antara lain ditetapkannya berberapa peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan yaitu UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pengangkatan menteri kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu II, maupun juga terjadinya kasus Prita Mulyasari. Dalam bidang kesehatan gigi, tahun 2009 merupakan era baru dengan dicantumkannya kesehatan gigi dan mulut pada UU Kesehatan. Kenyataan ini mendasari evaluasi bidang kesehatan di tahun 2009, serta bagaimana menata antisipasi ke depan di tahun 2010.


2010 SEBAGAI TAHUN PENELAAHAN VISI INDONESIA SEHAT
Tahun 2010 merupakan tonggak evaluasi pelaksanaan Visi Indonesia Sehat 2010. Selama ini telah ditetapkan serangkaian indikator mengenai capaian yang hendak diwujudkan dalam pelaksanaan Indonesia Sehat 2010. Dengan demikian patut dilakukan evaluasi, sampai sejauh mana visi pembangunan Indonesia Sehat 2010 telah berhasil dilaksanakan. Di samping itu patut pula diperhatikan bahwasanya kesehatan tidak dapat dilihat hanya secara kuantitatif belaka seperti angka kematian, tingkat penyakit, banyaknya rumah sakit yang dibangun dsb., namun juga menyangkut peningkatan martabat hidup manusia. Bahkan bila upaya kesehatan telah dijalankan dengan kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi sekali pun, tetap akan menyalahi hakikatnya bila martabat kemanusiaan diabaikan.

PROGRAM KESEHATAN
Berdasarkan konstitusi, kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak azasi manusia serta negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan. Namun kencenderungan selama ini, pelayanan kesehatan lebih diartikan mengobati orang sakit, dan bukannya juga mengusahakan agar masyarakat yang sehat tetap sehat. Pandangan keliru tersebut bukan hanya terdapat di kalangan masyarakat umum, namun juga pada sementara pengambil keputusan, bahkan tidak jarang pada kalangan profesi kesehatan. Selama ini program di bidang kesehatan maupun alokasi dana, umumnya lebih ditujukan untuk upaya kuratif, sedang untuk promosi kesehatan dan pencegahan penyakit masih kurang memadai. Memang harus diakui, upaya kuratif lebih menimbulkan efek tebar pesona, namun sama sekali tidak akan mengatasi permasalahan kesehatan secara mendasar. Sayangnya kenyataan menunjukkan, selama ini promosi kesehatan dan pencegahan penyakit masih lebih sebagai semboyan dan kurang implementasinya sebagai prioritas program.
Pendekatan kuratif dari segi pembiayaan sangat membebani pemerintah maupun masyarakat. Apalagi hingga saat ini sekitar 70% biaya kesehatan ditanggung sendiri (out of pocket) yang pada kenyataannya sangat membebani masyarakat, termasuk bagi kalangan mampu. Untuk mengatasinya, sebenarnya sistem asuransi kesehatan sosial telah ditetapkan pada UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), namun belum juga dilaksanakan. Kemudian secara khusus, dalam UU no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan ditetapkan bahwa, setiap orang berkewajiban turut serta dalam program asuransi kesehatan sosial. Hal ini perlu segera dijalankan mengingat dengan sistem asuransi kesehatan sosial secara nasional, seluruh potensi finansial masyarakat dapat dihimpun untuk secara kolektif mengatasi biaya kesehatan. Di masa mendatang dengan prioritas pada promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, serta dijalankannya asuransi kesehatan sosial, maka dapat digunakan secara efektif dan efisien alokasi dana untuk kesehatan yang berdasarkan UU Kesehatan ditetapkan sebesar 5% dari APBN dan 10% dari APBD di luar gaji.
Selanjutnya dalam menata masa depan kesehatan perlu diperhatikan agar kesehatan tetap pada hakikatnya untuk kesejahteraan sosial dan kemanusiaan serta tidak semata-mata menjadi komoditas ekonomi yang dintegrasikan sebagai bagian dari kepentingan pasar. Harus diakui, penetrasi pasar global ke segala bidang kehidupan telah mengakibatkan semakin menguatnya aspek ekonomi dari kesehatan. Namun patut diperhatikan hakikat kemanusiaan dan sosial dari upaya kesehatan hingga tidak terjebak pada komersialisasi pelayanan kesehatan.
Dalam pelaksanaan program kesehatan di masa mendatang patut pula diperhatikan perubahan masyarakat yang tengah berlangsung. Pada perubahan kehidupan masyarakat yang tengah berlangsung terjadi peningkatan kesadaran masyarakat akan hak-haknya dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini terlihat dengan meningkatnya tuntutan akan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta juga berkembangnya sikap kritis masyarakat terhadap upaya kesehatan. Selain itu meningkat pula partsipasi masyarakat bahkan keinginan untuk lebih dilibatkan lagi dalam pengambilan keputusan di bidang kesehatan. Dalam penyusunan dan pelaksanaan program kesehatan, perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tersebut perlu ditanggapi dengan sebaik-baiknya.
Dalam menyongsong masa mendatang, perlu dilakukan langkah-langkah strategis dalam rangka mengatasi permasalahan kesehatan terutama dalam bentuk:
o Promosi kesehatan dan pencegahan penyakit perlu menjadi prioritas, dengan tidak meninggalkan kegiatan kuratif dan rehabilitatif.
o Asuransi kesehatan sosial bagi seluruh rakyat agar segera dilakukan realisasinya dalam rangka membangun sistem pembiayaan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
o Sesuai dengan perubahan masyarakat yang terjadi, mempertahankan hakikat upaya kesehatan sebagai bagian dari perwujudan kesejahteraan sosial, serta pemberdayaan peran serta masyarakat dalam mengatasi permasalahan maupun dalam pengambilan keputusan di bidang kesehatan perlu dijalankan dengan baik.

KESEHATAN GIGI
Kesehatan gigi selama ini tidak mendapat prioritas yang memadai padahal merupakan permasalahan yang serius. Hasil RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) 2007 yang diselenggarakan Departemen Kesehatan RI menunjukkan, kerusakan gigi karena karies (gigi berlubang) dialami 72,1% penduduk, dan di antaranya 46,5% merupakan karies aktif yang tidak mendapatkan perawatan. Dari seluruh kasus karies gigi di Indonesia, yang telah dirawat (Performed Treatment Index) baru sebesar 1,6%, bahkan di DKI Jakarta sekali pun hanya 4,4% saja yang telah dirawat. Padahal bila penyakit gigi tidak dirawat akan menjadi semakin parah, hingga memerlukan perawatan yang lebih rumit serta pembiayaan yang lebih besar, di samping berakibat menurunnya produktivitas seseorang. Selain itu, kerap tidak disadari bahwa kesehatan gigi merupakan bagian integral dari keseluruhan kesehatan tubuh.
Pada tahun 2009 Kesehatan gigi dan mulut dapat dikatakan memasuki era baru dengan dicantumkannya kesehatan gigi dan mulut pada UU Kesehatan yang baru yakni UU No. 36 tahun 2009. Pada UU Kesehatan yang lama yakni UU No. 23 tahun 1992, kesehatan gigi sama sekali tidak tercantum. Pada UU Kesehatan yang baru, kesehatan gigi dan mulut merupakan salah satu kegiatan penyelenggaraan upaya kesehatan, bahkan terdapat bagian khusus mengenai kesehatan gigi dan mulut.
Pencantuman pada UU Kesehatan menunjukkan meningkatnya perhatian pentingnya kesehatan gigi dan mulut. Sebagai realisasinya, di masa mendatang program kesehatan gigi dan mulut perlu diberikan prioritas yang memadai, serta secara konkret dijalankan melalui pengembangan sistem dan penataan kelembagaan. Dalam rangka mengatasi tingginya tingkat penyakit gigi perlu dibangun sistem pelayanan yang menekankan pada kegiatan promosi kesehatan gigi dan pencegahan penyakit. Bagi perwujudan peran negara dalam penyediaan pelayanan kesehatan gigi dan mulut perlu dilakukan penataan kelembagaan yang menanganinya baik pada struktur Departemen Kesehatan maupun pada Pemerintah Daerah. Selama ini kelembagaan yang menangani pelayanan kesehatan gigi dan mulut cenderung belum berjalan sebagaimana mestinya.Dengan meningkatnya perhatian terhadap kesehatan gigi sekaligus menunjukkan eksistensi kesehatan gigi sebagai bagian integral dari pembangunan di bidang kesehatan dalam rangka turut serta mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tetapi di lain pihak juga merupakan tantangan sekaligus dorongan bagi kalangan profesi kesehatan gigi untuk pengembangan peran dan tanggung jawab dalam dedikasinya bagi masyarakat.
* Dr Paulus Januar, drg, MS adalah Ketua Organisasi dan TataLaksana dan Hukum Pengurus Besar PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia)