13.7.16

PENDIDIKAN DOKTER GIGI PADA UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN


PENDIDIKAN DOKTER GIGI 
PADA UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN



UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran merupakan peraturan perundangan yang mengatur mengenai pendidikan kedokteran di Indonesia. Berdasarkan UU tersebut, pendidikan dokter gigi termasuk dalam pendidikan kedokteran yang terdiri atas pendidikan dokter dan pendidikan dokter gigi.

 Meski telah terdapat UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, namun pendidikan kedokteran dipandang perlu untuk  diatur dalam UU tersendiri berdasarkan kekhasan pendidikan kedokteran. Pada bagian umum penjelasan UU Pendidikan Kedokteran dinyatakan bahwa, berbagai Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Sistem Pendidikan Nasional belum mengatur secara spesifik dan komprehensif mengenai penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran.

 Kekhasan pendidikan kedokteran terbangun dari sejarah pendidikan kedokteran maupun pelaksanaan profesinya yang selama ini telah berjalan baik secara universal maupun yang berlangsung di Indonesia. Hal yang khusus pada pendidikan kedokteran antara lain pelaksanaannya yang mencakup interaksi antara 3 unsur utama yaitu institusi pendidikan, rumah sakit pendidikan, dan profesi/kolegium.  Demikian pula struktur profesinya terdiri atas dokter/dokter gigi dan dokter/dokter gigi spesialis - sub spesialis, yang tercermin pula pada struktur  pendidikannya. Selain itu terdapat spesifitas profesi kedokteran sebagai tenaga strategis.

 Hal-hal yang diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran yang terdiri atas 8 bab yang berisi 64 pasal disertai penjelasannya meliputi:
  • Ketentuan umum yang berisi pengertian, azas dan tujuan pendidikan kedokteran
  • Penyelenggaraan pendidikan kedokteran yang mencakup pembentukan, penyelenggara pendidikan kedokteran, penyelenggara pendidikan kedokteran di rumah sakit, rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran, pendidikan akademis dan profesi, sumber daya manusia, standar nasional pendidikan kedokteran, kurikulum, mahasiswa, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan, uji kompetensi, kerja sama FK/FKG dengan rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran, penelitian, dan penjaminan mutu.  
  • Pendanaan dan standar satuan biaya pendidikan kedokteran yang mencakup pendanaan pendidikan kesehatan, dan standar satuan biaya pendidikan kedokteran.
  • Pemerintah dan pemerintah daerah yang mencakup dukungan pemerintah, dan dukungan pemerintah daerah.
  • Peranserta masyarakat.
  • Sanksi administratif.
  • Ketentuan Peralihan.
 EKSISTENSI PENDIDIKAN DOKTER GIGI

Pendidikan dokter gigi pada UU Pendidikan Kedokteran merupakan bagian dari Pendidikan Kedokteran. Dalam hal ini, pendidikan kedokteran terdiri atas pendidikan dokter dan pendidikan dokter gigi. Pada naskah awal RUU Pendidikan Kedokteran yang merupakan usulan inisiatif DPR, keberadaan pendidikan kedokteran gigi tidak terlalu jelas, bahkan terdapat kesan cenderung mengalami subordinasi.

 Namun berkat masukan dari PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia), AFDOKGI (Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia) maupun dari ARSGMPI (Asosiasi Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Indonesia), akhirnya pada pembahasan selanjutnya, pendidikan dokter gigi secara jelas dinyatakan eksistensinya. Berdasarkan UU tersebut, Pendidikan Kedokteran terdiri atas pendidikan dokter dan pendidikan dokter gigi, kemudian sebagai pengelolanya secara jelas dicantumkan dilakukan oleh Fakultas Kedokteran untuk pendidikan dokter dan Fakultas Kedokteran Gigi untuk pendidikan dokter gigi1).

 Kemudian berdasarkan kesepakatan mengenai pemahaman dasar tersebut, lalu dilakukan pembahasan dan perumusan yang menyangkut keberadaan pendidikan dokter gigi pada naskah rancangan UU Pendidikan Kedokteran. Dalam hal ini, patut dicatat bahwa, pada awalnya untuk menanamkan pemahaman tersebut bukan pekerjaan yang mudah, banyak yang masih belum mengerti tentang keberadaan pendidikan dokter gigi. Dalam rangka memasukkan substansi pendidikan dokter gigi, PDGI menyampaikan pokok-pokok pemikiran pada dengar pendapat di hadapan sidang DPR, lengkap dengan uraian usulan rinci perubahan pasal per pasal. Usulan mengenai substansi pendidikan dokter gigi kemudian diakomodasi oleh Panitia Kerja DPR pada pembahasan naskah Rancangan UU Pendidikan Kedokteran. 

PENYELENGGARA PENDIDIKAN KEDOKTERAN

Perguruan tinggi yang akan membuka program studi kedokteran dan/atau program studi kedokteran gigi wajib membentuk Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi2). Fakultas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran hanya dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang berbentuk universitas atau institut3). Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi yang memenuhi syarat dapat menambah program studi lain di bidang kesehatan4)Perguruan tinggi dalam menyelenggarakan Pendidikan Kedokteran bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran, serta berkoordinasi dengan Organisasi Profesi5).

 PENDIDIKAN AKADEMIK DAN PROFESI

Pendidikan Kedokteran terdiri atas Pendidikan Akademik dan Pendidikan Profesi6). Pendidikan Akademik terdiri atas program Sarjana Kedokteran dan program Sarjana Kedokteran Gigi, program magister, dan program doktor7). Pendidikan Profesi terdiri atas program profesi dokter dan profesi dokter gigi, program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis7) (dalam hal ini program dokter layanan primer hanya untuk dokter). Program profesi dokter dan profesi dokter gigi merupakan program lanjutan yang tidak terpisahkan dari program sarjana9).

 Program pendidikan dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi10). Program dokter layanan primer merupakan kelanjutan dari program profesi Dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis11). Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dalam menyelenggarakan program pendidikan dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis berkoordinasi dengan Organisasi Profesi12).

 KUOTA MAHASISWA

Program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi hanya dapat menerima Mahasiswa sesuai dengan kuota nasional13). Ketentuan mengenai kuota nasional  diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan14).

 RUMAH SAKIT DAN WAHANA PENDIDIKAN

Pendidikan Profesi kedokteran di rumah sakit dilaksanakan setelah rumah sakit ditetapkan menjadi Rumah Sakit Pendidikan15). Rumah Sakit Pendidikan terdiri atas Rumah Sakit Pendidikan Utama, Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi, dan Rumah Sakit Pendidikan Satelit16). Wahana Pendidikan Kedokteran terdiri atas pusat kesehatan masyarakat,  laboratorium, dan fasilitas lain17).

 DOSEN

Dosen pendidikan kedokteran dapat berasal dari perguruan tinggi, Rumah Sakit Pendidikan, dan Wahana Pendidikan Kedokteran18). Dosen di Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran melakukan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan pelayanan kesehatan19). Dosen di Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran memiliki kesetaraan, pengakuan, dan angka kredit yang memperhitungkan kegiatan pelayanan kesehatan20).

 STANDAR PENDIDIKAN DAN KURIKULUM

Standar Nasional Pendidikan Kedokteran yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi disusun secara bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, asosasi rumah sakit pendidikan, dan Organisasi Profesi21). Standar Nasional Pendidikan Kedokteran ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan22). Standar Nasional Pendidikan Kedokteran mengatur standar untuk Pendidikan Akademik dan Pendidikan Profesi23). Kurikulum dikembangkan oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Kedokteran24).

 PENERIMAAN MAHASISWA

Calon mahasiswa pendidikan kedokteran harus lulus seleksi penerimaan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan25). Selain lulus seleksi penerimaan, calon mahasiswa harus lulus tes bakat dan tes kepribadian26). Seleksi penerimaan calon mahasiswa menjamin adanya kesempatan bagi calon mahasiswa dari daerah sesuai dengan kebutuhan daerahnya, kesetaraan gender, dan kondisi masyarakat yang berpenghasilan rendah27).

 Seleksi penerimaan calon mahasiswa dapat dilakukan melalui jalur khusus28). Seleksi perimaan calon mahasiswa melalui jalur khusus ditujukan untuk menjamin pemerataan penyebaran lulusan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia28).

 Dokter dapat mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer, dan dokter spesialis-subspesialis serta Dokter Gigi dapat mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer dan program dokter gigi spesialis-subspesialis29). Dokter yang akan mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer dan dokter spesialis-subspesialis serta Dokter Gigi yang akan mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer dan program dokter gigi spesialis-subspesialis harus memenuhi persyaratan memiliki surat tanda registrasi, dan mempunyai pengalaman klinis di fasilitas pelayanan kesehatan terutama di daerah terpencil, terdepan/terluar, tertinggal, perbatasan, atau kepulauan30).

 UJI KOMPETENSI

Untuk menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, Mahasiswa harus lulus uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi31). Mahasiswa yang lulus uji kompetensi memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi32). Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi33). Mahasiswa yang telah lulus program profesi dokter atau profesi dokter gigi wajib mengangkat sumpah sebagai pertanggungjawaban moral kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan tugas keprofesiannya34).

 Mahasiswa program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis harus mengikuti uji kompetensi dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis yang bersifat nasional dalam rangka memberi pengakuan pencapaian kompetensi profesi dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis dan dokter gigi spesialis-subspesialis35). Uji kompetensi dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi36).

 KERJASAMA DENGAN RUMAH SAKIT DAN WAHANA PENDIDIKAN

Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi hanya dapat bekerja sama dengan 1 (satu) Rumah Sakit Pendidikan Utama37). Dalam hal menyelenggarakan program pendidikan dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis dan dokter gigi spesialissubspesialis, Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dapat bekerja sama paling banyak dengan 2 (dua) Rumah Sakit Pendidikan Utama38). Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dapat bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi dan/atau Rumah Sakit Pendidikan Satelit39).

 Rumah Sakit Pendidikan dan/atau rumah sakit gigi dan mulut yang dimiliki Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi dapat menjadi Rumah Sakit Pendidikan Utama Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan40). Rumah Sakit Pendidikan Utama hanya dapat bekerja sama dengan 1 (satu) Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi sebagai rumah sakit pendidikan utamanya41). Rumah Sakit Pendidikan Utama dapat menjadi Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi dan/atau Rumah Sakit Pendidikan Satelit bagi Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi lainnya42).

 PENELITIAN

Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi wajib melaksanakan penelitian ilmu biomedis, ilmu kedokteran gigi dasar, ilmu kedokteran klinis, ilmu kedokteran gigi klinis, ilmu bioetika/humaniora kesehatan, ilmu pendidikan kedokteran, serta ilmu kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat yang disesuaikan dengan kemajuan ilmu kedokteran dan/atau ilmu kedokteran gigi43). Penelitian kedokteran dan kedokteran gigi yang menggunakan manusia dan hewan percobaan sebagai subjek penelitian harus memenuhi lolos kaji etik44).

 STANDAR SATUAN BIAYA

Menteri yang menangani urusan pemerintah bidang pendidikan menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Kedokteran yang diberlakukan untuk semua perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan Kedokteran secara periodik sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan45). Penetapan biaya Pendidikan Kedokteran yang ditanggung Mahasiswa untuk semua perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan Kedokteran harus dilakukan dengan persetujuan Menteri46).

 MASA PERALIHAN

Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 5 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan47). Program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan48). Rumah Sakit Pendidikan yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini, paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan49).

 INTERNSIP DAN PENEMPATAN SEMENTARA

Program internsip menjadi  permasalahan yang banyak diperdebatkan, bahkan sampai pada sidang paripurna DPR penetapan UU pendidikan kedokteran. Pada bagian umum penjelasan UU Pendidikan Kedokteran dikemukakan, program internsip merupakan program pemahiran dan pemandirian dokter.  Program internsip merupakan bagian dari program penempatan wajib sementara yang bertujuan untuk menjamin pemerataan lulusan terdistribusi ke seluruh wilayah Indonesia.

 Program profesi dokter dan profesi dokter gigi dilanjutkan dengan program internsip50). Mahasiswa yang telah lulus dan telah mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi harus mengikuti program internsip51). Penempatan wajib sementara pada program internsip diperhitungkan sebagai masa kerja52). Program internsip diselenggarakan secara nasional bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi rumah sakit pendidikan, Organisasi Profesi, dan konsil kedokteran Indonesia53). Ketentuan lebih lanjut mengenai program internsip diatur dalam Peraturan Pemerintah54).

 Dari kalangan profesi kedokteran gigi, pada awalnya berpandangan bahwa, pemahiran dan pemandirian pada internsip telah berlangsung pada kepaniteraan klinik. Namun dengan perkembangan yang berlangsung kemudian, agaknya perlu dilakukan penelaahan untuk memberikan masukan-masukan agar Peraturan Pemerintah (PP) tentang pelaksanaan internsip yang akan dibuat dapat sesuai dengan pendidikan kedokteran gigi yang dijalankan.

TINDAK LANJUT

 UU Pendidikan Kedokteran yang telah diundang-undangkan membutuhkan cukup banyak peraturan pelaksanaan agar dapat sepenuhnya dijalankan. Bagi pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran dibutuhkan 5 Peraturan Pemerintah (PP), 1 Peraturan Presiden (Perpres), dan 14 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud). Diharapkan peraturan pelaksanaan tersebut dapat segera ditetapkan agar UU Pendidikan Kedokteran dapat dilaksanakan sepenuhnya. Cukup banyak ketentuan pada UU Pendidikan Kedokteran yang tidak dapat dijalankan tanpa adanya peraturan pelaksanaannya.

 Diharapkan dengan ditetapkannya UU Pendidikan Kedokteran dapat mengatasi permasalahan seperti akses bagi warga miskin dan putra daerah, kesetaraan gender, komersialisasi dan liberalisasi pendidikan kedokteran,  dan dualisme dosen dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Kesehatan. Selanjutnya Pemerintah diharapkan dapat menyediakan dukungan pembiayaan, sarana dan prasarana pendidikan kedokteran, serta mampu mengatasi permasalahan ketersediaan dan penyebaran dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.

 (paulus januar)

 Catatan:


  • 1) Pasal 1 butir 1,4,5 UU Pendidikan kedokteran
  • 2) Pasal 6 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 3) Pasal 6 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 4) Pasal 6 ayat (4) UU Pendidikan Kedokteran
  • 5) Pasal 5 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 6) Pasal 7 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 7) Pasal 7 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
  • 8) Pasal 7 ayat (5) UU Pendidikan Kedokteran
  • 9) Pasal 7 ayat (6) UU Pendidikan Kedokteran
  • 10) Pasal 8 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 11) Pasal 8 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
  • 12) Pasal 8 ayat (4) UU Pendidikan Kedokteran
  • 13) Pasal 9 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 14) Pasal 9 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 15) Pasal 13 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 16) Pasal 15 UU Pendidikan Kedokteran
  • 17) Pasal 16 UU Pendidikan Kedokteran
  • 18) Pasal 21 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 19) Pasal 21 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 20) Pasal 21 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
  • 21) Pasal 24 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 22) Pasal 24 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 23) Pasal 24 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
  • 24) Pasal 25 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 25) Pasal 27 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 26) Pasal 27 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 27) Pasal 27 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
  • 28) Pasal 27 ayat (4) UU Pendidikan Kedokteran
  • 29) Pasal 28 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 30) Pasal 28 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 31) Pasal 36 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 32) Pasal 36 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 33) Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
  • 34) Pasal 37 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 35) Pasal 39 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 36) Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 37) Pasal 40 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 38) Pasal 40 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 39) Pasal 40 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
  • 40) Pasal 41 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 41) Pasal 41 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 42) Pasal 40 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
  • 43) Pasal 46 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 44) Pasal 46 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 45) Pasal 52 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 46) Pasal 52 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 47) Pasal 59 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 48) Pasal 59 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 49) Pasal 60 UU Pendidikan Kedokteran
  • 50) Pasal 7 ayat (7) UU Pendidikan Kedokteran
  • 51) Pasal 38 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
  • 52) Pasal 38 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
  • 53) Pasal 7 ayat (8) UU Pendidikan Kedokteran
  • 54) Pasal 7 ayat (9) UU Pendidikan Kedokteran

KESEHATAN GIGI PADA UU KESEHATAN


KESEHATAN GIGI PADA UU KESEHATAN

Kesehatan gigi tercantum pada UU no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. UU Kesehatan tersebut ditetapkan DPR pada 14 september 2009 dan kemudian disahkan menjadi undang-undang oleh Presiden RI pada 13 oktober 2009. UU Kesehatan tersebut menggantikan UU no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan dunia kesehatan. Pada UU No 36 tahun 2009, mengenai Kesehatan, kesehatan gigi dimasukkan sebagai salah satu kegiatan penyelenggaraan upaya kesehatan. Bahkan terdapat bagian khusus mengenai kesehatan gigi yang dicantumkan pada pasal-pasal UU tersebut.

Sebelum ditetapkannya UU no 36 tahun 2009 sudah pernah terdapat UU no 9 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan, dan UU no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dengan ditetapkannya no. 36 tahun 2009  tentang Kesehatan, maka UU Kesehatan yang terdahulu sudah tidak berlaku lagi. Pada UU Kesehatan yang terdahulu yaitu UU no 9 tahun 1960 dan UU no. 23 tahun 1992, kesehatan gigi tidak tercantum.

Merupakan proses yang cukup panjang hingga akhirnya kesehatan gigi tercantum pada UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada penyusunan naskah RUU (Rancangan Undang Undang) yang berlangsung berkali-kali dari sekitar tahun 2002 sampai 2006, kesehatan gigi sama sekali tidak tercantum. Meski selama kurun waktu tersebut, pada beberapa kesempatan pembahasan sempat diusulkan, namun kesehatan gigi tidak jua dicantumkan. Kemudian pada RUU Kesehatan yang diajukan sebagai usul inisiatif DPR pada november 2006, kesehatan gigi tetap tidak tercantum. Selanjutnya tanggapan pemerintah dalam bentuk DIM (Daftar Inventarisasi Masalah), kesehatan gigi juga tidak terdapat di sana.

Dalam rangka pembahasan RUU Kesehatan tersebut, PB PDGI pada waktu itu membentuk tim untuk menyusun masukan yang beranggotakan Dr drg Paulus Januar MS,  drg Muryono Subyakto SH, Dr drg Harum Sasanti SpPM, dan drg Adang Sudjana Utja MS. Selanjutnya masukan tersebut disampaikan oleh PB PDGI pada dengar pendapat di hadapan sidang Komisi IX DPR.

Tercatat 2 kali PB PDGI diundang DPR untuk menyampaikan masukannya yaitu pada pertengahan 2007 dan awal 2008. Dalam kesempatan tersebut PB PDGI menyampaikan pokok pikiran mengenai tiga hal yaitu pertama, kesehatan sebagai hak azasi manusia sebagaimana tercantum pada UUD 1945; kedua, perlunya perwujudan paradigma sehat; serta ketiga, kesehatan gigi sebagai bagian integral dari kesehatan memiliki spesifitas dalam disiplin ilmu maupun kegiatannya, hingga kesehatan gigi perlu dicantumkan bahkan perlu terdapat bagian khusus tentang kesehatan gigi. Selain itu PB PDGI juga menyampaikan usulan penyempurnaan pasal per pasal secara rinci. PB PDGI mengajukan 47 butir usulan penyempurnaan pasal-pasal pada RUU Kesehatan yang tidak hanya mencakup mengenai kesehatan gigi, namun juga kesehatan secara keseluruhan.

Rupanya usulan PB PDGI mendapat tanggapan positif pada pembahasan RUU Kesehatan yang dilakukan DPR bersama pemerintah. Selain itu berdasarkan masukan dari berbagai pihak, kemudian dilakukan perombakan secara cukup mendasar pada naskah RUU tersebut hingga menjadi sebagaimana yang disahkan pada sidang paripurna DPR.

Pada UU no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, mengenai kesehatan gigi dicantumkan pada pasal 48 sebagai salah satu dari kegiatan penyelenggaraan upaya kesehatan. Pada UU Kesehatan sebelumnya yaitu UU no 23 tahun 1992, pada pasal 11 disebutkan mengenai 15 jenis kegiatan kesehatan, namun kesehatan gigi tidak tercantum di sana.

Secara khusus, dalam UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada Bab VI bagian kedua belas, seluruh bagian tersebut yang terdiri atas 2 pasal yaitu pasal 93 dan pasal 94, khusus berisi tentang kesehatan gigi dan mulut.

Pasal 93:
(1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan.

(2) Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat, usaha kesehatan sekolah.

Penjelasan Pasal 93 Ayat (1):
Lingkup masalah dari kesehatan gigi dan mulut ditinjau dari fase
tumbuh kembang:
a. Fase janin;
b. Ibu Hamil;
c. Anak-anak;
d. Remaja;
e. Dewasa; dan
f. Lanjut Usia.

Pasal 94:
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.


Pencantuman kesehatan gigi pada UU Kesehatan menunjukkan eksistensi kesehatan gigi sebagai bagian integral dari pembangunan di bidang kesehatan dalam rangka turut serta mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tetapi di lain pihak, dengan pencantuman pada UU Kesehatan juga merupakan tantangan sekaligus dorongan bagi kalangan profesi kesehatan gigi untuk pengembangan peran dan tanggung jawab dalam dedikasinya bagi masyarakat. Semoga dengan pencantuman pada UU Kesehatan dapat meningkatkan karya nyata profesi kedokteran gigi bagi bangsa dan negara.


-(Paulus Januar)-

KRIMINALISASI DOKTER



 KONTAN– Harian Bisnis & Investasi - 6 Desember 2013  

KRIMINALISASI   DOKTER


Dr Paulus Januar, drg, MS
Laboratorium Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Prof. DR Moestopo (Beragama)


Bila di masa silam pasien pasrah saja terhadap keberhasilan maupun kegagalan praktik dokter, kini keadaan telah berubah. Kenyataan itu mencuat pada kasus dokter Dewa Ayu Sasiary dan kedua rekannya yang divonis hukuman pidana. 

Namun di balik kenyataan itu terdapat dilema sengketa medis. Pasien mengharapkan tidak jadi kurban pelanggaran praktik dokter. Di lain pihak, para dokter juga khawatir menjadi bulan-bulanan tuntutan pelanggaran praktik. 

Apalagi ketika eksekusi hukuman terhadap rekan dokter Ayu dilakukan polisi dengan pengerebekan dan kemudian diborgol, seakan-akan pelaku kriminal yang berbahaya. Sedangkan terhadap koruptor kakap tidak pernah dilakukan pemborgolan. Aksi solidaritas dokter terjadi karena terusik rasa keadilan serta khawatir perlakuan tersebut terulang kembali. 

Maraknya tuduhan mengenai praktik dokter yang tidak berkualitas, penelantaran pasien, komersialisasi, dan sebagainya membuat kepercayaan terhadap profesi dokter mengalami erosi. Pada situasi ini timbul kekhawatiran masyarakat kalau-kalau dirinya menjadi korban pelanggaran praktik. Krisis kepercayaan semakin besar ketika para koruptor memanfaatkan surat keterangan sakit untuk berkelit dari jeratan hukum. 

Sebenarnya pasien yang dirugikan dapat mengajukan tuntutan. Namun tuntutan dugaan malapraktik sering dimentahkan dengan berbagai argumentasi medis dan teknis. Para penegak hukum juga mengalami kesulitan karena harus bersinggungan dengan istilah-istilah kedokteran. 

Akibatnya terdapat pandangan keliru, pasien berada di pihak yang lemah sedangkan sang dokter selalu lepas dari kesalahannya. Bahkan keluhan mengenai perawatan dokter malah dapat berbalik menjadi tuntutan pencemaran nama baik. Bila ini tidak diatasi akan memperburuk citra profesi kedokteran hingga mudah menjadi korban penghakiman opini publik. 
Mengenai malapraktik bukan hanya masyarakat yang resah, kalangan dokter pun cemas. Praktik kedokteran memang rentan dengan risiko kegagalan maupun tuntutan malapraktik. Permasalahan menjadi semakin kompleks karena masyarakat dan juga kalangan praktisi hukum tidak jarang mencampuradukkan setiap kegagalan perawatan kesehatan sebagai malapraktik. Padahal tidak setiap kegagalan perawatan merupakan malapraktik. 
Bila praktik dijalankan sesuai dengan standar, maka kegagalan yang terjadi merupakan risiko medis, dan sang dokter sama sekali tidak bersalah. Kriminalisasi terjadi bila risiko medik dinyatakan sebagai kelalaian, hingga sang dokter dijatuhi hukuman. 

Kurangnya pemahaman untuk membedakan kegagalan perawatan sebagai risiko medis ataukah pelanggaran praktik menyebabkan meningkatnya tuntutan dugaan malapraktik. Meningkatnya tuntutan dugaan malapraktik menimbulkan kecemasan di kalangan dokter yang awam di bidang hukum. 

MENGATASI TUNTUTAN PASIEN
Di masa lalu tatanan profesi kedokteran lebih dilandasi komitmen pribadi untuk menjalankan etika profesi dan memberikan kinerja yang baik, namun kini tidaklah mencukupi. Bagi pelaksanaan praktik yang baik serta juga untuk menyelesaikan tuntutan pelanggaran praktik, salah satu acuannya adalah standar pelayanan medis. 
Standar pelayanan medis ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan, dan merupakan pedoman praktik dokter. Merupakan kebutuhan mendesak penerapan standar pelayanan medis agar dapat membedakan mana yang malapraktik dan mana yang tidak. 

Berdasarkan UU Praktik Kedokteran, dalam rangka menangani pelanggaran pada praktik kedokteran, telah dibentuk MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) yang anggotanya bukan saja dari profesi kedokteran, namun juga dari kalangan ahli hukum dan masyarakat. Selama ini MKDKI telah menerima sejumlah pengaduan, dan terdapat dokter yang dinyatakan bersalah serta dikenakan sanksi dari teguran, hingga pencabutan ijin praktik.

Tantangan bagi MKDKI adalah bagaimana mendapatkan kepercayaan masyarakat. Untuk itu, agaknya MKDKI perlu lebih intensif lagi melalukan sosialisasi dalam proses kerjanya, hingga dapat terhapus kesan seakan-akan terhadap pelanggaran praktik kalangan profesi kedokteran berusaha menyelesaikannya secara tertutup di kalangan mereka sendiri.

Semoga dengan kasus dokter Ayu dapat menjadi momen kesempatan untuk membangun saling pemahaman seraya menata pelayanan kesehatan di Indonesia, dan bukannya saling mengecam. Kalangan profesi kesehatan dituntut untuk membangun kredibilitas dan kompetensinya agar mendapatkan kepercayaan masyarakat. Sedangkan sikap kritis masyarakat perlu direspon secara positif dan bukannya dihadapi dengan arogansi profesi. Dengan tatanan yang baik tidak akan terjadi kriminalisasi terhadap dokter.

MEMPERSOALKAN UNDANG-UNDANG MENGENAI MALAPRAKTIK



HARIAN KOMPAS - 26 mei 2006  

MEMPERSOALKAN UNDANG-UNDANG MENGENAI MALAPRAKTIK 


Paulus Januar 


Masalah malapraktik tetap menjadi keresahan masyarakat kendatipun telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Memang, UU tersebut terutama berisi tentang penyelenggaraan praktik dan tidak secara khusus mengatur malapraktik. 

Walau terhadap malapraktik dapat dikenakan pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun ganti rugi berdasarkan hukum perdata, tetap terdapat keinginan adanya UU khusus (lex specialis) yang mengatur malapraktik.
 
Namun, perlu disadari, bila tanpa pemahaman yang tepat mengenai malapraktik serta cara penanganannya, persoalannya tetap tidak kunjung selesai. Malah tidak mustahil dapat menimbulkan ketidakadilan baru. 

Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dan juga karena perilaku sebagian dokter yang melakukan pelanggaran dalam praktiknya, kini profesi dokter kerap dipandang dapat menimbulkan permasalahan. 
Selanjutnya, harus diakui pula publikasi mengenai malapraktik pada gilirannya juga akan lebih meningkatkan lagi gugatan malapraktik yang diajukan masyarakat. Bahkan, mungkin juga akan menimbulkan pandangan keliru seakan-akan setiap kegagalan perawatan dokter merupakan malapraktik. 

Malapraktik dan risiko medis 

Secara umum, seorang dokter melakukan malapraktik bila dalam praktiknya melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. Sedangkan kalau seorang dokter sudah melakukan tindakan sebagaimana mestinya sesuai dengan etika dan standar pelayanan, meski mengalami kegagalan dalam merawat pasiennya, maka yang terjadi bukan suatu malapraktik, melainkan merupakan risiko medis. 

Persoalannya, dalam kenyataan sehari-hari tidak mudah membedakan risiko medis dengan malapraktik. Hal ini mengingat hasil suatu perawatan tidak hanya berdasarkan tindakan dokter, namun juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti kemungkinan adanya komplikasi, daya tahan tubuh yang tidak sama, kepatuhan pasien dalam mengikuti petunjuk dokter, dan lingkungan. Dengan adanya berbagai faktor yang spesifik pada tiap-tiap pasien, sering kali tidak terlalu mudah untuk secara definitif menetapkan apakah seorang dokter sudah bertindak sebagaimana mestinya atau melakukan pelanggaran dalam merawat pasien. 

Persoalan lainnya, masyarakat yang tidak memahami seluk-beluk kedokteran cenderung lebih melihat perawatan dari hasilnya. Padahal, mengingat hasil perawatan yang tidak dapat diprediksi secara pasti, seorang dokter dalam praktiknya hanya memberikan jaminan proses yang sebaik mungkin (inspanningsverbintenis), serta sama sekali tidak menjanjikan hasil (resultaatsverbintenis). Kesalahpahaman semacam ini sering kali berujung dengan gugatan malapraktik.
 
Manakala perdebatan antara risiko medis dan dugaan malapraktik terhadap suatu kegagalan praktik sudah memasuki wilayah pertikaian hukum dengan segala argumentasinya, hal ini tentu saja menjadi hal yang sangat meresahkan para dokter. Mengatasi persengketaan hukum memang membutuhkan kemampuan di luar bidang kedokteran, bahkan timbul kekhawatiran para dokter dijadikan bulan-bulanan tuntutan hukum. Apalagi kalau dari kalangan masyarakat karena pemahaman yang keliru kemudian terdapat kecenderungan untuk melakukan kriminalisasi terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan dokter dalam menjalankan praktiknya. 

Kecenderungan kriminalisasi ini antara lain terlihat pada UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana terhadap pelanggaran administrasi, seperti papan nama tidak sesuai dengan ketentuan, diancam hukuman kurungan penjara. Merupakan asumsi yang salah bila dianggap dengan peraturan yang keras maka para dokter akan berpraktik secara baik. Pengalaman di beberapa negara ternyata peraturan yang keras malah menimbulkan persoalan baru dalam bentuk praktik defensif. Dalam rangka menghindari tuntutan, dokter akan melakukan prosedur pemeriksaan secara berlebihan serta melakukan rujukan yang sebenarnya tidak diperlukan. Bila ini terjadi, pasien yang akan dirugikan. Dengan demikian, tidak mudah menyusun peraturan perundang-undangan yang secara adil mengatur malapraktik.

Pembuktian malapraktik
 
Persoalan berikutnya adalah mengenai pembuktian malapraktik. Bagi pembuktiannya terdapat yang disebut formula malapraktik (malpractice formula), yaitu seorang dokter dinyatakan melakukan malapraktik bila dapat dibuktikan tiga unsur utama malapraktik. Pertama, terbukti terjadi pelanggaran standar pelayanan. Kedua, terbukti pasien mengalami kerugian atau kerusakan setelah menjalani perawatan (culpa lata). Ketiga, terbukti hubungan sebab akibat antara pelaksanaan praktik yang tidak sesuai standar dan kerugian/kerusakan yang dialami pasien. 
Dalam kenyataannya, tidak mudah bagi penuntut atau pengacara yang mendampingi pasien untuk membuktikan unsur-unsur malapraktik tersebut. Hal ini mungkin karena tidak dapat mengajukan bukti, tidak memahami perihal kedokteran, atau tidak mampu menggali keterangan dari saksi ahli. Untuk mengatasinya dituntut peningkatan kemampuan kalangan praktisi hukum dalam menangani kasus malapraktik. Sayangnya, karena tidak mampu membuktikan adanya malapraktik, sering kali kalangan dokter secara semena-mena dituduh sebagai pihak yang memiliki arogansi profesi serta tidak mau dipersalahkan.
 
Menjamin praktik yang baik
 
Para dokter, demikian pula masyarakat dan kalangan profesi hukum, dalam mempersoalkan malapraktik tentu dilandasi itikad baik untuk menjamin agar para dokter menjalankan praktik secara baik (lege artis). 
Sebenarnya, kalangan profesi kedokteran juga tidak menghendaki ada anggota profesinya yang melakukan pelanggaran praktik. Disadari, bila terhadap pelanggaran praktik tidak dilakukan tindakan untuk mengatasinya, maka akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran. Padahal, keluhuran profesi kedokteran selama ini dibangun berdasarkan kepercayaan dari masyarakat (social trust). Di lain pihak, perlu diakui pula dalam perkembangannya, terutama oleh maraknya komersialisme dan monetisasi dalam kehidupan masyarakat, terdapat kecenderungan sementara dokter yang menyalahgunakan kepercayaan masyarakat tersebut.
 
Dalam rangka mengatasi pelanggaran praktik, kalangan profesi kedokteran selama ini secara internal telah menjalankan mekanisme untuk menjaga integritasnya, antara lain terhadap pelanggaran etika ditangani majelis kehormatan etik yang dibentuk oleh organisasi profesi. 
Selain itu, berdasarkan UU Praktik Kedokteran telah dibentuk pula Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia untuk menangani pelanggaran disiplin, yakni dokter yang praktiknya tidak sesuai dengan standar pelayanan. 

Dalam transformasi sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat, kini semakin dituntut transparansi dan akuntabilitas terhadap mekanisme internal yang dijalankan tersebut. Tanpa keterbukaan dan pertanggungjawaban publik, tidak dapat dihindari kesan seakan-akan sesama dokter saling melindungi sejawatnya yang melakukan pelanggaran. Kenyataan ini perlu disadari; bagaimana mewujudkan transparansi dan akuntabilitas tanpa meninggalkan hakikat profesi kedokteran merupakan tantangan yang perlu diantisipasi. 
Di samping itu, untuk menghindari ketidakpastian, perlu juga ditetapkan serta disosialisasikan kepada masyarakat mengenai proses pengaduan, prosedur penanganan, serta kriteria yang jelas mengenai mana saja pelanggaran praktik yang merupakan pelanggaran etika, pelanggaran disiplin, maupun pelanggaran hukum pidana ataupun perdata. 
Kemudian tentu saja terhadap malapraktik yang merupakan pelanggaran hukum, peraturan perundang-undangan yang adil berdasarkan pemahaman yang benar memang diperlukan. 

-----------------

Paulus Januar Pengajar Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), Jakarta

PRAKTIK DOKTER YANG DIKECAM


Harian Kompas - 25 Oktober 2004

PRAKTIK DOKTER YANG DIKECAM


Paulus Januar


PADA pembahasan Rancangan Undang-Undang Praktik ternyata profesi kedokteran dan kedokteran gigi menuai kecaman demi kecaman sehubungan dengan tudingan malapraktik. Masyarakat merasa resah dengan kasus malapraktik yang terjadi. Bahkan, saat RUU Praktik dibahas di DPR (dulu) ada usulan agar namanya diubah menjadi Undang-Undang Praktik Kedokteran dan Penyelesaian Sengketa yang Ditimbulkan.

Di lain pihak, kalangan kedokteran tidak menginginkan profesinya dicemari malapraktik. Jika dari itikad semua pihak yang sama-sama tidak menghendaki malapraktik lalu timbul persoalan, mungkin karena ada kesenjangan pemahaman. Dengan demikian, perlu secara jelas dan benar mendudukkan masalah praktik kedokteran dan kaitannya dengan malapraktik.

Penataan praktik

Melindungi penerima layanan kedokteran dari praktik yang merugikan merupakan salah satu tujuan utama ditetapkannya Undang-Undang (UU) Praktik. Dalam hal ini sebenarnya yang utama adalah mengatur praktik yang baik dan benar, setelah itu mengatur pelanggaran yang terjadi. Namanya juga UU Praktik, bukan UU Malpraktik. Pada UU Praktik, titik berat tentang penataan kelembagaan praktik dalam bentuk konsil kedokteran dan kedokteran gigi maupun penataan pelaksanaan praktik berdasar standar pelayanan medis. Selama ini banyak terjadi kasus malapraktik, terutama karena belum baiknya penataan praktik kedokteran. Diharapkan dengan penataan praktik yang baik dan benar, terjadinya malapraktik dapat dicegah.

Konsil merupakan lembaga otonom untuk menata standar kompetensi maupun registrasi para dokter dan dokter gigi. Kemudian diatur pula izin praktik maupun kewajiban menambah dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran gigi.

Dalam menjalankan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan medis sebagai pedoman yang harus diikuti. Sebagaimana diketahui, standar pelayanan medis mencakup standar prosedur, ketenagaan, dan sarana yang harus dipenuhi dalam menjalankan praktik. Bila semua ketentuan ini dipenuhi, tidak akan terjadi malapraktik.

Kelalaian praktik

Ternyata silang pendapat paling seru pada UU Praktik mengenai kelalaian praktik atau populer disebut malapraktik, bukan penataan praktik. Dari kalangan masyarakat umum dan sementara pakar hukum, ada anggapan bahwa kalangan profesi kedokteran berusaha melindungi rekannya yang melakukan kelalaian (negligence). Bahkan terlontar tuduhan, pada UU praktik diupayakan untuk melakukan dekriminalisasi terhadap kesalahan dokter yang dilakukan dalam praktiknya. Sebaliknya, kalangan profesi kedokteran merasa terjadi kecenderungan kriminalisasi terhadap semua kegagalan medis, baik yang disebabkan kesalahan dokter maupun yang bukan disebabkan kesalahan dokter yang merawatnya. Bahkan, timbul kecemasan dengan kecenderungan bahwa kriminalisasi akan membuka peluang untuk secara hukum bisa mencari-cari kesalahan dokter.

Sebagaimana diketahui, praktik kedokteran merupakan profesi yang berisiko kegagalan atau akibat buruk. Bila seorang dokter melaksanakan praktiknya sesuai dengan etika profesi dan standar medis, namun mengalami kegagalan atau akibat buruk, maka yang terjadi adalah risiko medis dan sama sekali bukan suatu kelalaian atau malapraktik. Malapraktik adalah kelalaian praktik dalam bentuk tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan.

Bila dalam praktik, dokter melakukan kelalaian yang tidak sesuai dengan etika medis, yang terjadi adalah pelanggaran etika. Misalnya, seorang dokter mengiklankan praktiknya, mengambil alih pasien dari dokter lain tanpa persetujuannya, atau tidak memberikan kesempatan kepada pasien untuk berhubungan dengan keluarganya. Mengingat etika merupakan norma perilaku profesi yang lebih dibebankan pada dirinya sendiri (self imposed regulation), maka penyelesaiannya dilakukan secara internal di kalangan profesi bersangkutan yang dilakukan majelis kehormatan etika.

Kelalaian berupa praktik kedokteran yang tidak sesuai dengan standar merupakan pelanggaran disiplin profesi. Pelanggaran disiplin, misalnya kelalaian atau kesalahan melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian serius pada pasien, kurang berdedikasi terhadap pasien yang meminta pertolongan, atau ketidakmampuan dalam menjalankan profesi. Yang termasuk pelanggaran disiplin terutama jika kelalaian itu tidak sampai menimbulkan akibat buruk atau kerugian sehingga tidak dapat dituntut secara hukum.

Berdasar UU Praktik, untuk menangani kasus pelanggaran disiplin dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagai lembaga otonom, komposisinya dari kalangan profesi kedokteran, kedokteran gigi, dan ahli hukum. Penegakan disiplin bukan penghukuman seperti pada kasus pidana, namun lebih ditekankan sebagai penegakan kualitas dan menjaga kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, sanksi yang dijatuhkan terhadap pelanggaran disiplin lebih bersifat korektif dan edukatif berupa peringatan, pencabutan izin praktik, atau kewajiban mengikuti pendidikan dan pelatihan ulang.

Sedangkan kelalaian praktik yang tidak sesuai dengan standar lalu menimbulkan akibat buruk atau kerugian pada pasien (culpa lata), selain terjadi pelanggaran disiplin, juga merupakan pelanggaran hukum dan dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Pasal-pasal pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan hukum perdata dapat digunakan untuk menuntut dokter yang melakukan kelalaian hingga menimbulkan akibat buruk atau kerugian pada pasien.

Memang ada yang mempermasalahkan mengapa pada UU Praktik mengenai malapraktik tidak jelas dicantumkan pasal- pasal tentang pelanggaran pidana dan perdata. Dengan demikian terhadap kasus malapraktik tidak ada ketentuan hukum pidana dan perdata yang bersifat khusus (lex specialis), hingga terhadap kasus itu hanya dapat dituntut berdasar hukum pidana dan perdata yang bersifat umum (lex generalis).

Selain masalah ketentuan peraturan perundang-undangan, sebenarnya ada masalah yang lebih rumit, yaitu mengenai pembuktian. Tidak mudah bagi pasien maupun penasihat hukum yang mendampinginya untuk membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran dalam menjalankan standar profesi. Selanjutnya lebih sulit lagi untuk membuktikan hubungan kausalitas antara pelanggaran standar profesi dan akibat buruk atau kerugian yang terjadi. Biasanya tuntutan kasus malapraktik mengalami kegagalan dalam pembuktian, mungkin karena buruknya rekam medis maupun kekurangmampuan dalam menggali keterangan saksi ahli.

Mengenai rekam medis, juga diatur dalam UU Praktik, maupun sanksi pidana terhadap pelanggarannya. Sedangkan mengenai upaya pembuktian juga dituntut peningkatan kemampuan penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun pengacara. Jangan karena ketidakmampuan membuktikan lalu para dokter dikecam dan dijadikan kambing hitam.

Menghindari praktik defensif

Masyarakat maupun kalangan ahli hukum selama ini cenderung menghendaki, terhadap para dokter apa pun kelalaiannya harus ditetapkan sanksi hukuman yang ketat dan keras, terutama dari segi pidana dan perdata. Bahkan, ada kecenderungan kriminalisasi bukan saja terhadap kelalaian praktik yang merupakan pelanggaran hukum, tetapi mencakup pelanggaran etika dan disiplin. Dengan demikian akan menimbulkan efek jera hingga para dokter akan berpraktik sebaik-baiknya dan berhati-hati. Namun, anggapan itu tidak seluruhnya benar.

Praktik defensif merupakan bentuk praktik yang dilakukan berdasar pertimbangan untuk melindungi diri dari tuntutan hukum dengan kehati-hatian berlebihan dan biasanya disertai dengan pembiayaan tinggi dalam rangka menanggulangi risiko. Dengan pola praktik demikian, pasien menjadi pihak yang dirugikan karena sering harus menjalani sejumlah prosedur yang sebenarnya tidak terlalu perlu hanya karena sang dokter takut mendapat risiko dipersalahkan. Konsekuensinya, perawatan menjadi kompleks serta harus menanggung biaya lebih besar. Apalagi jika kemungkinan risiko dituntut ganti rugi juga diperhitungkan dalam komponen biaya. Hal ini dapat dihindari bila ada peraturan perundangan-undangan yang secara proporsional melindungi pasien maupun tenaga kesehatan, disertai dengan pelaksanaan hukum yang baik.
------------------------
Paulus Januar Anggota Tim Pembahasan RUU Praktik dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia