1.2.10

KESEHATAN RAKYAT MISKIN

Koran SINDO (SEPUTAR INDONESIA) 13 Maret 2008

KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN

Dr Paulus Januar, drg, MSKepala Laboratorium Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama)


Program pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dalam bentuk Askeskin (Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin) mulai tahun 2008 diganti menjadi Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Pada Jamkesmas terjadi perubahan, kini dana langsung disalurkan dari kas negara kepada pemberi pelayanan kesehatan. Di samping itu disiapkan tim untuk melakukan verifikasi administratif, keuangan, dan medik.
Perubahan menjadi Jamkesmas dilakukan untuk mengatasi berbagai kekurangan Askeskin yang selama ini dijalankan PT Askes. Departemen Kesehatan menuntut peningkatan kinerja PT Askes yang dinilai belum baik, bahkan sempat terlontar rencana menghentikan kerja sama. Di lain pihak dari masyarakat miskin kerap muncul keluhan mengenai kualitas maupun hambatan dalam penggunaan Askeskin. Dengan demikian perubahan tersebut perlu ditelaah dalam kerangka berbagai problematika yang membelit pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin.

PEMBIAYAAN KESEHATAN
Pembiayaan program kesehatan bagi masyarakat miskin berasal dari anggaran pemerintah serta kompensasi pengurangan subsidi BBM. Pada perencanaan Askeskin tahun 2007, diperkirakan jumlah penduduk miskin 60 juta orang dengan kebutuhan dana Rp 3,6 triliun. Namun realisasinya, selama tahun 2007 tercatat 76,4 juta orang yang menggunakan fasilitas Askeskin, hingga membutuhkan dana Rp 4,6 triliun. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka untuk Jamkesmas di tahun 2008 disediakan anggaran Rp. 4,6 triliun.
Namun perubahan dari Askeskin menjadi Jamkesmas terutama menyangkut perubahan mekanisme pembayaran dari pemerintah, dan sama sekali tidak menyangkut sistem sumber pembiayaan. Padahal, bukan hanya di negara berkembang seperti Indonesia saja, bahkan juga di negara maju, pembiayaan pelayanan kesehatan tetap merupakan permasalahan serius. Hal ini terlihat antara lain pada pencalonan presiden Amerika Serikat yang kini tengah berlangsung, ternyata masalah pembiayaan kesehatan menjadi perdebatan sengit di antara para kandidat.
Termasuk di negara maju, kalau pembiayaan kesehatan hanya berasal dari anggaran pemerintah, biasanya akan sangat membebani dan tidak mencukupi. Ditambah lagi kalau masih terjadi inefisiensi seperti tes diagnostik dan perawatan yang berlebihan, pemalsuan klaim asuransi, manipulasi obat, serta pengelembungan biaya.
Mengatasi masalah pembiyaaan dapat dilakukan dengan memperluas cakupan asuransi kesehatan bukan hanya untuk keluarga miskin saja, melainkan dibangun suatu sistem asuransi sosial kesehatan secara nasional yang mencakup seluruh lapisan masyarakat. Pembiayaan berasal dari premi yang ditetapkan berdasarkan tingkat penghasilan tiap-tiap orang, dan bagi masyarakat miskin preminya dibayar oleh pemerintah. Dengan sistem asuransi kesehatan secara nasional, maka seluruh potensi finansial masyarakat dapat dihimpun untuk secara kolektif mengatasi biaya kesehatan. Hal ini perlu dijalankan mengingat hingga saat ini sekitar 70% biaya kesehatan ditanggung sendiri (out of pocket) yang pada kenyataannya sangat membebani masyarakat, termasuk juga bagi kalangan mampu.

POLA PELAYANAN KESEHATAN
Selama ini mungkin terdapat pandangan, bila pembiayaan sudah dapat ditanggulangi, maka pelayanan kesehatan akan terlaksana dengan baik. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Selain tersedianya biaya, ternyata pelayanan kesehatan ditentukan juga oleh faktor lain seperti pola pelayanan, sistem pengelolaan keuangan, serta relasi tenaga kesehatan dengan masyarakat yang dilayani.
Pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin sering terjadi perlakukan yang tidak ramah, penelantaran, bahkan ungkapan-ungkapan yang merendahkan. Program pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin sebenarnya agar mereka mendapatkan martabatnya sebagai manusia, tapi ironisnya yang terjadi malah perendahan martabat. Belum lagi permasalahan antrian yang panjang, birokrasi yang rumit, hingga perilaku koruptif oknum petugas kesehatan. Sebagai akibatnya, mungkin masyarakat miskin cenderung enggan memanfaatkan fasilitas askeskin, atau pun baru menggunakannya bila penyakitnya sudah parah.
Sebenarnya untuk menjamin kualitas pelayanan kesehatan terdapat audit medis serta audit keuangan. Sedangkan sebagai landasan dalam menilai, ditetapkan standar pelayanan yang merupakan pedoman yang harus diikuti dalam melaksanakan praktik. Pada UU no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran ditetapkan, standar pelayanan diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan, sedang audit medis sebagai upaya evaluasi terhadap mutu pelayanan medis diatur oleh kalangan profesi. Sayangnya sampai sekarang belum terealisasi sepenuhnya. Dengan demikian sistem verifikasi yang hendak dikembangkan pada Jamkesmas akan sulit untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
Pola pelayanan Jamkesmas juga perlu memperhatikan aspek pencegahan penyakit. Selama ini masyarakat cenderung memandang tenaga kesehatan lebih berfungsi untuk merawat dan mengobati orang sakit (kuratif). Demikian pula bidang kesehatan lebih terpaku pada perawatan dan pengobatan hingga menyita sebagian besar biaya, tenaga, peralatan, maupun waktu. Pengalaman di banyak negara menunjukkan, kegiatan pencegahan penyakit dan peningkatan taraf kesehatan dalam jangka panjang akan mengurangi beban biaya serta meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.
Dalam mewujudkan kesehatan bagi seluruh rakyat agaknya diperlukan keberanian untuk mengambil inisiatif membangun sistem berdasarkan asuransi sosial kesehatan secara nasional yang mencakup juga aspek pencegahan penyakit serta peningkatan taraf kesehatan. Dengan demikian seluruh masyarakat dapat tercakup, termasuk kaum miskin yang memang sangat membutuhkan. Terlebih dari itu, berdasarkan pendekatan tersebut maka yang terwujud adalah sistem kesehatan, dan bukan hanya sistem mengobati orang sakit.
* * *