10.12.13

MEWASPADAI KORUPSI DI SEKTOR KESEHATAN

KONTAN Harian Bisnis & Investasi 22 Agustus 2013

Paulus Januar, pengajar di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) - Jakarta


Profesi kesehatan yang umumnya dipandang mulia tidak imun dari korupsi. Ikatan Dokter se Dunia (World Medical Association) menyatakan, dokter juga manusia dan pelayanan kesehatan sebagai profesi yang memiliki otonomi mengatur dirinya sendiri (self regulating) mengandung kesempatan melakukan penyelewengan. 

Laporan yang diterbitkan Transparansi Internasional tentang korupsi global di bidang kesehatan beberapa waktu lalu menunjukkan, korupsi di bidang kesehatan terjadi di negara miskin maupun kaya, pada sektor pemerintah maupun swasta, serta dari sarana kesehatan yang sederhana hingga canggih; dilakukan dokter, perawat, ahli farmasi, maupun pejabat kesehatan.

Padahal korupsi meningkatkan biaya barang maupun jasa kesehatan. Korupsi kesehatan tidak hanya menimbulkan kerugian finansial, namun juga penurunan standar yang berakibat terancamnya keselamatan pasien. Korupsi akan menggerogoti kepercayaan terhadap tenaga kesehatan. Manakala ini terjadi, maka profesi kesehatan berada di ambang keruntuhan.

Pelayanan kesehatan merupakan sesuatu yang asimetris yakni pasien tergantung pada penilaian tenaga kesehatan. Posisi yang asimetris karena dokter yang mengetahui penyakit pasien, maupun efektifitas perawatan. Kondisi asimetris tersebut tidak masalah selama tenaga kesehatan bekerja dengan penuh dedikasi, serta terdapat kepercayaan masyarakat.

Namun belakangan ini, betapa semakin menguatnya aspek ekonomi kesehatan. Kepentingan ekonomi tenaga kesehatan serta perilaku agresif dari perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan mewarnai profesi kesehatan.

Betapa kerap terjadi ada gratifikasi atau pemberian yang menjurus penyuapan. Gratifikasi secara meluas meliputi pemberian barang, komisi, fasilitas, pembiayaan mengikuti seminar, perjalanan wisata, dan sebagainya.

Kepentingan ekonomi dibarengi mentalitas korupsi di kalangan tenaga kesehatan mengakibatkan perawatan dan pemberian obat secara berlebihan, yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Sebaliknya, pelayanan kesehatan yang nilai ekonominya rendah diabaikan, hingga terjadi penelantaran pasien. Bentuk lain korupsi kesehatan dengan menyalahgunakan otonomi profesi dan rahasia kedokteran antara lain pengelembungan biaya, pemalsuan klaim asuransi, manipulasi obat, surat keterangan fiktif, dan sebagainya.

Korupsi pada administrasi kesehatan terutama dalam pengadaan sarana prasarana, maupun obat dan peralatan kesehatan. Terjadi praktik pengelembungan harga, penunjukkan langsung tanpa tender, kolusi, tagihan fiktif, dan manipulasi kualitas. Banyak pejabat dan pengusaha yang terjerat kasus semacam ini.

Menunggu amanat UU
Korupsi memang sangat digdaya, namun bukan berarti tidak mungkin diberantas. Strategi dasar mengatasi korupsi adalah dengan meniadakan kondisi dan penyebab terjadinya, disertai pengawasan yang efektif.

Dengan demikian perlu pedalaman secara sistematis mengenai realitas proses korupsi kesehatan serta penanggulangannya. Tidak cukup hanya menanamkan nilai-nilai luhur kesehatan yang cenderung normatif.

Dalam bidang kesehatan terdapat konsep tata kelola yang baik (good governance) yang bila dijalankan dapat mengatasi korupsi. Berdasarkan konsep ini, transparansi dan akuntabilitas merupakan unsur utama untuk mengatasi korupsi kesehatan.

Transparansi menyangkut keterbukaan informasi tindakan pengobatan dan perawatan yang dilakukan, maupun pengelolaan pembiayaan kesehatan. Dengan adanya transparansi, akuntabilitas pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui audit medis serta audit keuangan.

Sedangkan sebagai landasan dalam menilai, ditetapkan standar pelayanan yang merupakan pedoman yang harus diikuti dalam melaksanakan upaya kesehatan. Menurut UU no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, standar pelayanan diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Sedangkan audit medis sebagai upaya evaluasi terhadap mutu pelayanan medis diatur oleh organisasi profesi.

Sayangnya sampai sekarang amanat UU tersebut belum dijalankan sepenuhnya. Tertundanya pengaturan tersebut dapat menimbulkan kesulitan untuk menindak korupsi, dan juga menurunkan kepercayaan masyarakat.

Standar pelayanan kesehatan serta audit medik perlu dijalankan untuk terwujudnya transparansi dan akuntabilitas dalam rangka pelaksanaan tata kelola kesehatan yang baik. Prioritas yang semakin besar untuk peningkatan upaya kesehatan akan sia-sia bila tidak dibarengi pengembangan sistem tata kelola untuk mencegah penyelewengan.