PADA UU
PENDIDIKAN KEDOKTERAN
Meski
telah terdapat UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No.
14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU No. 12 tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi, namun pendidikan kedokteran dipandang perlu untuk
diatur dalam UU tersendiri berdasarkan kekhasan pendidikan kedokteran. Pada
bagian umum penjelasan UU Pendidikan Kedokteran dinyatakan bahwa, berbagai
Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan Sistem Pendidikan Nasional
belum mengatur secara spesifik dan komprehensif mengenai penyelenggaraan
Pendidikan Kedokteran.
Kekhasan
pendidikan kedokteran terbangun dari sejarah pendidikan kedokteran maupun
pelaksanaan profesinya yang selama ini telah berjalan baik secara universal
maupun yang berlangsung di Indonesia. Hal yang khusus pada pendidikan
kedokteran antara lain pelaksanaannya yang mencakup interaksi antara 3 unsur
utama yaitu institusi pendidikan, rumah sakit pendidikan, dan profesi/kolegium.
Demikian pula struktur profesinya terdiri atas dokter/dokter gigi dan
dokter/dokter gigi spesialis - sub spesialis, yang tercermin pula pada struktur
pendidikannya. Selain itu terdapat spesifitas profesi kedokteran sebagai
tenaga strategis.
Hal-hal
yang diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran yang terdiri atas 8 bab yang berisi
64 pasal disertai penjelasannya meliputi:
- Ketentuan
umum yang berisi pengertian, azas dan tujuan pendidikan kedokteran
- Penyelenggaraan
pendidikan kedokteran yang mencakup pembentukan, penyelenggara pendidikan
kedokteran, penyelenggara pendidikan kedokteran di rumah sakit, rumah
sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran, pendidikan akademis dan
profesi, sumber daya manusia, standar nasional pendidikan kedokteran,
kurikulum, mahasiswa, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan, uji
kompetensi, kerja sama FK/FKG dengan rumah sakit pendidikan dan wahana
pendidikan kedokteran, penelitian, dan penjaminan mutu.
- Pendanaan
dan standar satuan biaya pendidikan kedokteran yang mencakup pendanaan
pendidikan kesehatan, dan standar satuan biaya pendidikan kedokteran.
- Pemerintah
dan pemerintah daerah yang mencakup dukungan pemerintah, dan dukungan
pemerintah daerah.
- Peranserta masyarakat.
- Sanksi administratif.
- Ketentuan Peralihan.
EKSISTENSI
PENDIDIKAN DOKTER GIGI
Pendidikan
dokter gigi pada UU Pendidikan Kedokteran merupakan bagian dari Pendidikan
Kedokteran. Dalam hal ini, pendidikan kedokteran terdiri atas pendidikan dokter
dan pendidikan dokter gigi. Pada naskah awal RUU Pendidikan Kedokteran yang
merupakan usulan inisiatif DPR, keberadaan pendidikan kedokteran gigi tidak
terlalu jelas, bahkan terdapat kesan cenderung mengalami subordinasi.
Namun
berkat masukan dari PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia), AFDOKGI (Asosiasi
Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia) maupun dari ARSGMPI (Asosiasi Rumah Sakit
Gigi dan Mulut Pendidikan Indonesia), akhirnya pada pembahasan selanjutnya,
pendidikan dokter gigi secara jelas dinyatakan eksistensinya. Berdasarkan UU
tersebut, Pendidikan Kedokteran terdiri atas pendidikan dokter dan pendidikan
dokter gigi, kemudian sebagai pengelolanya secara jelas dicantumkan dilakukan
oleh Fakultas Kedokteran untuk pendidikan dokter dan Fakultas Kedokteran Gigi
untuk pendidikan dokter gigi1).
Kemudian
berdasarkan kesepakatan mengenai pemahaman dasar tersebut, lalu dilakukan
pembahasan dan perumusan yang menyangkut keberadaan pendidikan dokter gigi pada
naskah rancangan UU Pendidikan Kedokteran. Dalam hal ini, patut dicatat bahwa,
pada awalnya untuk menanamkan pemahaman tersebut bukan pekerjaan yang mudah,
banyak yang masih belum mengerti tentang keberadaan pendidikan dokter gigi.
Dalam rangka memasukkan substansi pendidikan dokter gigi, PDGI menyampaikan
pokok-pokok pemikiran pada dengar pendapat di hadapan sidang DPR, lengkap
dengan uraian usulan rinci perubahan pasal per pasal. Usulan mengenai substansi
pendidikan dokter gigi kemudian diakomodasi oleh Panitia Kerja DPR pada
pembahasan naskah Rancangan UU Pendidikan Kedokteran.
PENYELENGGARA
PENDIDIKAN KEDOKTERAN
Perguruan
tinggi yang akan membuka program studi kedokteran dan/atau program studi
kedokteran gigi wajib membentuk Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas
Kedokteran Gigi2). Fakultas yang menyelenggarakan pendidikan
kedokteran hanya dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang berbentuk
universitas atau institut3). Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas
Kedokteran Gigi yang memenuhi syarat dapat menambah program studi lain di
bidang kesehatan4). Perguruan
tinggi dalam menyelenggarakan Pendidikan Kedokteran bekerja sama dengan Rumah
Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran, serta berkoordinasi dengan
Organisasi Profesi5).
PENDIDIKAN
AKADEMIK DAN PROFESI
Pendidikan
Kedokteran terdiri atas Pendidikan Akademik dan Pendidikan Profesi6).
Pendidikan Akademik terdiri atas program Sarjana Kedokteran dan program Sarjana
Kedokteran Gigi, program magister, dan program doktor7). Pendidikan
Profesi terdiri atas program profesi dokter dan profesi dokter gigi, program
dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi
spesialis-subspesialis7) (dalam hal ini program dokter layanan
primer hanya untuk dokter). Program profesi dokter dan profesi dokter gigi
merupakan program lanjutan yang tidak terpisahkan dari program sarjana9).
Program
pendidikan dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter
gigi spesialis-subspesialis hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas
Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori
tertinggi untuk program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi10).
Program dokter layanan primer merupakan kelanjutan dari program profesi Dokter
dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis11).
Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dalam menyelenggarakan program
pendidikan dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter
gigi spesialis-subspesialis berkoordinasi dengan Organisasi Profesi12).
KUOTA
MAHASISWA
Program
studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi hanya dapat menerima
Mahasiswa sesuai dengan kuota nasional13). Ketentuan mengenai kuota
nasional diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pendidikan setelah berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan14).
RUMAH
SAKIT DAN WAHANA PENDIDIKAN
Pendidikan
Profesi kedokteran di rumah sakit dilaksanakan setelah rumah sakit ditetapkan menjadi
Rumah Sakit Pendidikan15). Rumah Sakit Pendidikan terdiri atas Rumah
Sakit Pendidikan Utama, Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi, dan Rumah Sakit
Pendidikan Satelit16). Wahana Pendidikan Kedokteran terdiri atas
pusat kesehatan masyarakat, laboratorium, dan fasilitas lain17).
DOSEN
Dosen pendidikan kedokteran dapat berasal dari perguruan tinggi, Rumah Sakit Pendidikan, dan Wahana
Pendidikan Kedokteran18). Dosen di Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana
Pendidikan Kedokteran melakukan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada
masyarakat, dan pelayanan kesehatan19). Dosen di Rumah Sakit
Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran memiliki kesetaraan, pengakuan, dan
angka kredit yang memperhitungkan kegiatan pelayanan kesehatan20).
STANDAR
PENDIDIKAN DAN KURIKULUM
Standar
Nasional Pendidikan Kedokteran yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan
Tinggi disusun secara bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi, asosasi rumah sakit pendidikan, dan Organisasi Profesi21).
Standar Nasional Pendidikan Kedokteran ditetapkan oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan22).
Standar Nasional Pendidikan Kedokteran mengatur standar untuk Pendidikan
Akademik dan Pendidikan Profesi23). Kurikulum dikembangkan oleh
Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dengan mengacu pada Standar
Nasional Pendidikan Kedokteran24).
PENERIMAAN
MAHASISWA
Calon
mahasiswa pendidikan kedokteran harus lulus seleksi penerimaan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan25). Selain lulus seleksi penerimaan, calon
mahasiswa harus lulus tes bakat dan tes kepribadian26). Seleksi
penerimaan calon mahasiswa menjamin adanya kesempatan bagi calon mahasiswa dari
daerah sesuai dengan kebutuhan daerahnya, kesetaraan gender, dan kondisi
masyarakat yang berpenghasilan rendah27).
Seleksi
penerimaan calon mahasiswa dapat dilakukan melalui jalur khusus28).
Seleksi perimaan calon mahasiswa melalui jalur khusus ditujukan untuk menjamin
pemerataan penyebaran lulusan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia28).
Dokter
dapat mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer, dan
dokter spesialis-subspesialis serta Dokter Gigi dapat mengikuti seleksi
penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer dan program dokter gigi
spesialis-subspesialis29). Dokter yang akan mengikuti seleksi
penerimaan mahasiswa program dokter layanan primer dan dokter
spesialis-subspesialis serta Dokter Gigi yang akan mengikuti seleksi penerimaan
mahasiswa program dokter layanan primer dan program dokter gigi
spesialis-subspesialis harus memenuhi persyaratan memiliki surat tanda
registrasi, dan mempunyai pengalaman klinis di fasilitas pelayanan kesehatan terutama
di daerah terpencil, terdepan/terluar, tertinggal, perbatasan, atau kepulauan30).
UJI
KOMPETENSI
Untuk
menyelesaikan program profesi dokter atau dokter gigi, Mahasiswa harus lulus
uji kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter
atau Dokter Gigi31). Mahasiswa yang lulus uji kompetensi memperoleh
sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi32). Uji
kompetensi Dokter atau Dokter Gigi dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau
Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi33).
Mahasiswa yang telah lulus program profesi dokter atau profesi dokter gigi
wajib mengangkat sumpah sebagai pertanggungjawaban moral kepada Tuhan Yang Maha
Esa dalam melaksanakan tugas keprofesiannya34).
Mahasiswa program dokter layanan primer, dokter
spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis harus mengikuti
uji kompetensi dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter
gigi spesialis-subspesialis yang bersifat nasional dalam rangka memberi
pengakuan pencapaian kompetensi profesi dokter layanan primer, dokter
spesialis-subspesialis dan dokter gigi spesialis-subspesialis35).
Uji kompetensi dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran
Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi36).
KERJASAMA DENGAN RUMAH SAKIT DAN WAHANA
PENDIDIKAN
Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi hanya
dapat bekerja sama dengan 1 (satu) Rumah Sakit Pendidikan Utama37).
Dalam hal menyelenggarakan program pendidikan dokter layanan primer, dokter
spesialis-subspesialis dan dokter gigi spesialissubspesialis, Fakultas Kedokteran
dan Fakultas Kedokteran Gigi dapat bekerja sama paling banyak dengan 2 (dua)
Rumah Sakit Pendidikan Utama38). Fakultas Kedokteran dan Fakultas
Kedokteran Gigi dapat bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi
dan/atau Rumah Sakit Pendidikan Satelit39).
Rumah Sakit Pendidikan dan/atau rumah sakit gigi
dan mulut yang dimiliki Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi
dapat menjadi Rumah Sakit Pendidikan Utama Fakultas Kedokteran dan/atau
Fakultas Kedokteran Gigi yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan40). Rumah Sakit Pendidikan Utama hanya dapat
bekerja sama dengan 1 (satu) Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran
Gigi sebagai rumah sakit pendidikan utamanya41). Rumah Sakit
Pendidikan Utama dapat menjadi Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi dan/atau Rumah
Sakit Pendidikan Satelit bagi Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi
lainnya42).
PENELITIAN
Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi wajib
melaksanakan penelitian ilmu biomedis, ilmu kedokteran gigi dasar, ilmu
kedokteran klinis, ilmu kedokteran gigi klinis, ilmu bioetika/humaniora
kesehatan, ilmu pendidikan kedokteran, serta ilmu kedokteran komunitas dan
kesehatan masyarakat yang disesuaikan dengan kemajuan ilmu kedokteran dan/atau
ilmu kedokteran gigi43). Penelitian kedokteran dan kedokteran
gigi yang menggunakan manusia dan hewan percobaan sebagai subjek penelitian
harus memenuhi lolos kaji etik44).
STANDAR SATUAN BIAYA
Menteri yang menangani urusan pemerintah bidang pendidikan
menetapkan standar satuan biaya operasional Pendidikan Kedokteran yang
diberlakukan untuk semua perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan Kedokteran
secara periodik sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan45).
Penetapan biaya Pendidikan Kedokteran yang ditanggung Mahasiswa untuk semua
perguruan tinggi penyelenggara Pendidikan Kedokteran harus dilakukan dengan
persetujuan Menteri46).
MASA PERALIHAN
Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang
sudah ada sebelum Undang-Undang ini harus menyesuaikan dengan ketentuan
Undang-Undang ini paling lama 5 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan47). Program studi kedokteran dan program studi
kedokteran gigi yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini harus menyesuaikan
dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 5 (lima) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan48). Rumah Sakit Pendidikan yang sudah
ada sebelum Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang
ini, paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan49).
INTERNSIP DAN PENEMPATAN SEMENTARA
Program internsip menjadi permasalahan yang banyak
diperdebatkan, bahkan sampai pada sidang paripurna DPR penetapan UU pendidikan
kedokteran. Pada bagian umum penjelasan UU Pendidikan Kedokteran dikemukakan, program
internsip merupakan program pemahiran dan pemandirian dokter. Program
internsip merupakan bagian dari program penempatan wajib sementara yang
bertujuan untuk menjamin pemerataan lulusan terdistribusi ke seluruh wilayah
Indonesia.
Program profesi dokter dan profesi dokter gigi
dilanjutkan dengan program internsip50). Mahasiswa yang telah lulus
dan telah mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi harus mengikuti
program internsip51). Penempatan wajib sementara pada program
internsip diperhitungkan sebagai masa kerja52). Program internsip
diselenggarakan secara nasional bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan
kedokteran, asosiasi rumah sakit pendidikan, Organisasi Profesi, dan konsil
kedokteran Indonesia53). Ketentuan lebih lanjut mengenai program
internsip diatur dalam Peraturan Pemerintah54).
Dari kalangan profesi kedokteran gigi, pada awalnya
berpandangan bahwa, pemahiran dan pemandirian pada internsip telah berlangsung
pada kepaniteraan klinik. Namun dengan perkembangan yang berlangsung kemudian,
agaknya perlu dilakukan penelaahan untuk memberikan
masukan-masukan agar Peraturan Pemerintah (PP) tentang pelaksanaan internsip
yang akan dibuat dapat sesuai dengan pendidikan kedokteran gigi yang
dijalankan.
TINDAK LANJUT
UU Pendidikan Kedokteran yang telah
diundang-undangkan membutuhkan cukup banyak peraturan pelaksanaan agar dapat
sepenuhnya dijalankan. Bagi pelaksanaan UU Pendidikan Kedokteran dibutuhkan 5
Peraturan Pemerintah (PP), 1 Peraturan Presiden (Perpres), dan 14 Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud). Diharapkan peraturan
pelaksanaan tersebut dapat segera ditetapkan agar UU Pendidikan Kedokteran
dapat dilaksanakan sepenuhnya. Cukup banyak ketentuan pada UU Pendidikan
Kedokteran yang tidak dapat dijalankan tanpa adanya peraturan pelaksanaannya.
Diharapkan dengan ditetapkannya UU Pendidikan
Kedokteran dapat mengatasi permasalahan seperti akses bagi warga miskin dan
putra daerah, kesetaraan gender, komersialisasi dan liberalisasi pendidikan
kedokteran, dan dualisme dosen dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
dengan Kementerian Kesehatan. Selanjutnya Pemerintah diharapkan dapat
menyediakan dukungan pembiayaan, sarana dan prasarana pendidikan kedokteran,
serta mampu mengatasi permasalahan ketersediaan dan penyebaran dokter, dokter
gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.
(paulus
januar)
Catatan:
- 1) Pasal 1 butir 1,4,5 UU Pendidikan kedokteran
- 2) Pasal 6 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 3) Pasal 6 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 4) Pasal 6 ayat (4) UU Pendidikan Kedokteran
- 5) Pasal 5 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 6) Pasal 7 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 7) Pasal 7 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 8) Pasal 7 ayat (5) UU Pendidikan Kedokteran
- 9) Pasal 7 ayat (6) UU Pendidikan Kedokteran
- 10) Pasal 8 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 11) Pasal 8 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 12) Pasal 8 ayat (4) UU Pendidikan Kedokteran
- 13) Pasal 9 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 14) Pasal 9 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 15) Pasal 13 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 16) Pasal 15 UU Pendidikan Kedokteran
- 17) Pasal 16 UU Pendidikan Kedokteran
- 18) Pasal 21 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 19) Pasal 21 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 20) Pasal 21 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 21) Pasal 24 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 22) Pasal 24 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 23) Pasal 24 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 24) Pasal 25 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 25) Pasal 27 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 26) Pasal 27 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 27) Pasal 27 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 28) Pasal 27 ayat (4) UU Pendidikan Kedokteran
- 29) Pasal 28 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 30) Pasal 28 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 31) Pasal 36 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 32) Pasal 36 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 33) Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 34) Pasal 37 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 35) Pasal 39 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 36) Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 37) Pasal 40 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 38) Pasal 40 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 39) Pasal 40 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 40) Pasal 41 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 41) Pasal 41 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 42) Pasal 40 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
- 43) Pasal 46 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 44) Pasal 46 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 45) Pasal 52 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 46) Pasal 52 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 47) Pasal 59 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 48) Pasal 59 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 49) Pasal 60 UU Pendidikan Kedokteran
- 50) Pasal 7 ayat (7) UU Pendidikan Kedokteran
- 51) Pasal 38 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
- 52) Pasal 38 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
- 53) Pasal 7 ayat (8) UU Pendidikan Kedokteran
- 54) Pasal 7 ayat (9) UU Pendidikan Kedokteran