13.7.16

MEMPERSOALKAN UNDANG-UNDANG MENGENAI MALAPRAKTIK



HARIAN KOMPAS - 26 mei 2006  

MEMPERSOALKAN UNDANG-UNDANG MENGENAI MALAPRAKTIK 


Paulus Januar 


Masalah malapraktik tetap menjadi keresahan masyarakat kendatipun telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Memang, UU tersebut terutama berisi tentang penyelenggaraan praktik dan tidak secara khusus mengatur malapraktik. 

Walau terhadap malapraktik dapat dikenakan pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun ganti rugi berdasarkan hukum perdata, tetap terdapat keinginan adanya UU khusus (lex specialis) yang mengatur malapraktik.
 
Namun, perlu disadari, bila tanpa pemahaman yang tepat mengenai malapraktik serta cara penanganannya, persoalannya tetap tidak kunjung selesai. Malah tidak mustahil dapat menimbulkan ketidakadilan baru. 

Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dan juga karena perilaku sebagian dokter yang melakukan pelanggaran dalam praktiknya, kini profesi dokter kerap dipandang dapat menimbulkan permasalahan. 
Selanjutnya, harus diakui pula publikasi mengenai malapraktik pada gilirannya juga akan lebih meningkatkan lagi gugatan malapraktik yang diajukan masyarakat. Bahkan, mungkin juga akan menimbulkan pandangan keliru seakan-akan setiap kegagalan perawatan dokter merupakan malapraktik. 

Malapraktik dan risiko medis 

Secara umum, seorang dokter melakukan malapraktik bila dalam praktiknya melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. Sedangkan kalau seorang dokter sudah melakukan tindakan sebagaimana mestinya sesuai dengan etika dan standar pelayanan, meski mengalami kegagalan dalam merawat pasiennya, maka yang terjadi bukan suatu malapraktik, melainkan merupakan risiko medis. 

Persoalannya, dalam kenyataan sehari-hari tidak mudah membedakan risiko medis dengan malapraktik. Hal ini mengingat hasil suatu perawatan tidak hanya berdasarkan tindakan dokter, namun juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti kemungkinan adanya komplikasi, daya tahan tubuh yang tidak sama, kepatuhan pasien dalam mengikuti petunjuk dokter, dan lingkungan. Dengan adanya berbagai faktor yang spesifik pada tiap-tiap pasien, sering kali tidak terlalu mudah untuk secara definitif menetapkan apakah seorang dokter sudah bertindak sebagaimana mestinya atau melakukan pelanggaran dalam merawat pasien. 

Persoalan lainnya, masyarakat yang tidak memahami seluk-beluk kedokteran cenderung lebih melihat perawatan dari hasilnya. Padahal, mengingat hasil perawatan yang tidak dapat diprediksi secara pasti, seorang dokter dalam praktiknya hanya memberikan jaminan proses yang sebaik mungkin (inspanningsverbintenis), serta sama sekali tidak menjanjikan hasil (resultaatsverbintenis). Kesalahpahaman semacam ini sering kali berujung dengan gugatan malapraktik.
 
Manakala perdebatan antara risiko medis dan dugaan malapraktik terhadap suatu kegagalan praktik sudah memasuki wilayah pertikaian hukum dengan segala argumentasinya, hal ini tentu saja menjadi hal yang sangat meresahkan para dokter. Mengatasi persengketaan hukum memang membutuhkan kemampuan di luar bidang kedokteran, bahkan timbul kekhawatiran para dokter dijadikan bulan-bulanan tuntutan hukum. Apalagi kalau dari kalangan masyarakat karena pemahaman yang keliru kemudian terdapat kecenderungan untuk melakukan kriminalisasi terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan dokter dalam menjalankan praktiknya. 

Kecenderungan kriminalisasi ini antara lain terlihat pada UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana terhadap pelanggaran administrasi, seperti papan nama tidak sesuai dengan ketentuan, diancam hukuman kurungan penjara. Merupakan asumsi yang salah bila dianggap dengan peraturan yang keras maka para dokter akan berpraktik secara baik. Pengalaman di beberapa negara ternyata peraturan yang keras malah menimbulkan persoalan baru dalam bentuk praktik defensif. Dalam rangka menghindari tuntutan, dokter akan melakukan prosedur pemeriksaan secara berlebihan serta melakukan rujukan yang sebenarnya tidak diperlukan. Bila ini terjadi, pasien yang akan dirugikan. Dengan demikian, tidak mudah menyusun peraturan perundang-undangan yang secara adil mengatur malapraktik.

Pembuktian malapraktik
 
Persoalan berikutnya adalah mengenai pembuktian malapraktik. Bagi pembuktiannya terdapat yang disebut formula malapraktik (malpractice formula), yaitu seorang dokter dinyatakan melakukan malapraktik bila dapat dibuktikan tiga unsur utama malapraktik. Pertama, terbukti terjadi pelanggaran standar pelayanan. Kedua, terbukti pasien mengalami kerugian atau kerusakan setelah menjalani perawatan (culpa lata). Ketiga, terbukti hubungan sebab akibat antara pelaksanaan praktik yang tidak sesuai standar dan kerugian/kerusakan yang dialami pasien. 
Dalam kenyataannya, tidak mudah bagi penuntut atau pengacara yang mendampingi pasien untuk membuktikan unsur-unsur malapraktik tersebut. Hal ini mungkin karena tidak dapat mengajukan bukti, tidak memahami perihal kedokteran, atau tidak mampu menggali keterangan dari saksi ahli. Untuk mengatasinya dituntut peningkatan kemampuan kalangan praktisi hukum dalam menangani kasus malapraktik. Sayangnya, karena tidak mampu membuktikan adanya malapraktik, sering kali kalangan dokter secara semena-mena dituduh sebagai pihak yang memiliki arogansi profesi serta tidak mau dipersalahkan.
 
Menjamin praktik yang baik
 
Para dokter, demikian pula masyarakat dan kalangan profesi hukum, dalam mempersoalkan malapraktik tentu dilandasi itikad baik untuk menjamin agar para dokter menjalankan praktik secara baik (lege artis). 
Sebenarnya, kalangan profesi kedokteran juga tidak menghendaki ada anggota profesinya yang melakukan pelanggaran praktik. Disadari, bila terhadap pelanggaran praktik tidak dilakukan tindakan untuk mengatasinya, maka akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran. Padahal, keluhuran profesi kedokteran selama ini dibangun berdasarkan kepercayaan dari masyarakat (social trust). Di lain pihak, perlu diakui pula dalam perkembangannya, terutama oleh maraknya komersialisme dan monetisasi dalam kehidupan masyarakat, terdapat kecenderungan sementara dokter yang menyalahgunakan kepercayaan masyarakat tersebut.
 
Dalam rangka mengatasi pelanggaran praktik, kalangan profesi kedokteran selama ini secara internal telah menjalankan mekanisme untuk menjaga integritasnya, antara lain terhadap pelanggaran etika ditangani majelis kehormatan etik yang dibentuk oleh organisasi profesi. 
Selain itu, berdasarkan UU Praktik Kedokteran telah dibentuk pula Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia untuk menangani pelanggaran disiplin, yakni dokter yang praktiknya tidak sesuai dengan standar pelayanan. 

Dalam transformasi sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat, kini semakin dituntut transparansi dan akuntabilitas terhadap mekanisme internal yang dijalankan tersebut. Tanpa keterbukaan dan pertanggungjawaban publik, tidak dapat dihindari kesan seakan-akan sesama dokter saling melindungi sejawatnya yang melakukan pelanggaran. Kenyataan ini perlu disadari; bagaimana mewujudkan transparansi dan akuntabilitas tanpa meninggalkan hakikat profesi kedokteran merupakan tantangan yang perlu diantisipasi. 
Di samping itu, untuk menghindari ketidakpastian, perlu juga ditetapkan serta disosialisasikan kepada masyarakat mengenai proses pengaduan, prosedur penanganan, serta kriteria yang jelas mengenai mana saja pelanggaran praktik yang merupakan pelanggaran etika, pelanggaran disiplin, maupun pelanggaran hukum pidana ataupun perdata. 
Kemudian tentu saja terhadap malapraktik yang merupakan pelanggaran hukum, peraturan perundang-undangan yang adil berdasarkan pemahaman yang benar memang diperlukan. 

-----------------

Paulus Januar Pengajar Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar